Perundingan Linggajati yang diselenggarakan di Desa Linggajati pada tanggal 11-13 November merupakan perundingan pertama yang mencapai hasil sebuah perjanjian dari serangkaian perudingan yang dilakukan oleh Republik Indonesia dengan Pemerintahan Belanda. Didahului oleh perundingan Hoge Veluwe di Belanda yang mengalami deadlock dan kegagalan, perundingan Linggajati menghasilkan apa yang di kemudian hari Persetujuan Linggajati yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (kini Istana Merdeka) di Jakarta. Isi pokok yang dicapai dari Perundingan Linggajati antara lain 1) Pengakuan Belanda secara De facto atas eksistensi Negara Republik Indonesia yang meliputi Sumatera, Jawa dan Madura, 2) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk negara Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia, dan 3) Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.
Gedung Perundingan Linggajati sendiri terletak di Desa Linggarjati sendiri berada di wilayah Blok Wage, Dusun Tiga, Kampung Cipaku, kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Desa ini terletak pada ketinggian 400 meter di atas permukaan air laut, dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Sebelah selatan desa ini berbatasan dengan Desa Linggasana, sebelah timur berbatasan dengan Desa Linggamekar, sebelah utara berbatasan dengan Desa Lingga Indah dan sebelah barat berbatasan dengan Gunung Ciremai. Desa ini berjarak 25 km dari Cirebon dan 17 km dari Kuningan.
Gedung ini yang saat diadakannya perundingan merupakan tempat peristirahatan dipilih atas usulan Menteri Sosial RI saat itu, Maria Ulfah karena selain tidak jauh dari Jakarta dan masih berada di wilayah kekuasaan RI, suasana Kuningan yang sejuk dan nyaman memberikan nilai tambah sebagai tempat perundingan.
Nilai perjuangan diplomasi yang terkandung dalam perundingan Linggajati sangat besar. Peristiwa ini menampilkan bagaimana para pemimpin bangsa saat itu berusaha mencapai hasil maksimal, yaitu diakuinya Republik Indonesia sebagai sebuah negara yang eksis oleh negara-negara lain setelah menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Cita-cita ini terwujud melalui Perundingan Linggajati dimana Inggris pada tanggal 31 Maret 1947 mengakui kekuasaan de facto dari Republik Indonesia yang disusul Amerika Serikat tanggal 23 April 1947, lalu Mesir pada tanggal 10 Juni 1947 juga mengakui RI secara de facto sekaligus de jure, dan selanjutnya oleh negara-negara timur tengah seperti Lebanon, Syiria, Irak, Afghanistan, Saudi Arabia, Yaman dan Burma.
Menurut mantan Menlu RI N. Hassan Wirajuda, Perundingan Linggajati pada saat itu tidak hanya merupakan bentuk perjuangan diplomasi Indonesia melawan Belanda, tetapi sekaligus symbol perjuangan Indonesia melawan tata dunia saat itu, di mana kolonialisasi dan penjajahan (kembali) masih berlaku dewasa itu. Republik Indonesia yang baru berumur 1 tahun berusaha mempertahankan kedaulatan wilayahnya sekaligus mencari pengakuan dari dunia luar akan eksistensinya melalui perundingan ini.
Ada beberapa kalangan baik pada saat itu maupun pengamat sejarah saat ini menilai perundingan ini merupakan kegagalan karena menciutkan wilayah Repbulik Indonesia menjadi hanya meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura yang bertentangan dengan aspirasi bangsa yang menginginkan wilayah RI yang berdaulat di atas wilayah Hindia-Belanda. Menurut Ali Budiardjo, seorang pelaku sejarah dalam Perundingan Linggajati ( beliau merupakan salah satu dari empat notulen perundingan), sejak awal perundingan ( dimulai dari perundingan Hoge Veluwe ) sudah terdapat dua tujuan utama yang hendak diraih, yaitu 1) pengakuan akan keberadaan Republik Indonesia oleh sebanyak mungkin negara di dunia, sehingga perjuangan bangsa tidak lagi dianggap sebagai “gerakan nasional” di dalam suatu negara jajahan, tetapi sebagai sebuah negara yang berdaulat penuh dan 2) mempertahankan kekuatan fisik yang telah dibangun.
Para pemimpin bangsa saat itu sadar sepenuhnya bahwa tujuan pertama tidak akan dapat dicapai sekaligus. Akan tetapi, Republik Indonesia, betapapun terbatas wilayahnya, dapat menjadi batu loncatan untuk mencapai tujuan terakhir, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang meliputi seluruh wilayah Hindia-Belanda sesuai pernyataan kemerdekaan dan UUD 1945. Inilah sebabnya, Perundingan Linggajati dikatakan berhasil, walaupun Republik Indonesia cuma diakui secara de facto meliputi Sumatera, Jawa dan Madura.
Untuk tujuan kedua, masih menurut Ali Budiardjo, delegasi RI dinilai berhasil mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut bidang militer seperti penolakan terhadap usulan penghapusan dan pelemahan tentara RI karena dapat melemahkan pemerintahan RI sendiri.
Gedung Perundingan Linggajati ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi berdasarkan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Saat ini Gedung Perundingan yang berada di bawah pengelolaan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Pemda Kuningan.
RIWAYAT GEDUNG PERUNDINGAN LINGGARJATI
TAHUN 1918
Di lokasi yang kini menjadi Gedung Perundingan Linggarjati pada tahun 1918 berdiri sebuah gubuk milik Ibu Jasitem
TAHUN 1921
Gubug tersebut beralih tangan ke seorang berkebangsaan Belanda yang bernama Tersana dan dirombak menjadi bangunan permanen.
TAHUN 1930
Bangunan permanen tersebut berpindah kepemilikan dan dijadikan rumah tinggal seorang berkebangsaan Belanda Mr. Jacobus (Koos) Van Johannes.
TAHUN 1935
Rumah tinggal Mr. Van Johannes dikontrak oleh Theo Huitker untuk dijadikan Hotel yang bernama “Rustoord”.
TAHUN 1942
Ketika Jepang memasuki wilayah Hindia Belanda, Belanda menyerha tanpa syarat yang mengakibatkan berpindah tangannya wilayah Nustantara dari Belanda ke Jepang, tidak terkecuali wilayah Kuningan. Hotel Rustoord diganti namanya menjadi Hotel “Hokayryokan”.
TAHUN 1945
Pada tanggal 17 Agustus Soekarno dan Hatta atas nama Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Bara Nasionalisme menjalar ke seluruh penjuru Nusantara. Hotel Hokayryokan pun berubaha namanya menjadi Hotel Merdeka.
TAHUN 1946
Ketika pihak Belanda dan Indonesia sepakat untuk melakukan perudingan, maka dicarilah tempat yang harus disepakati bersama untuk diadakan perundingan. Pihak Belanda menolak berunding bila Jogjakarta karena kekuatan RI ada di sana, sebaliknya Soekarno-Hatta menolak bila didakan di Jakarta karena tentara Belanda banyak di sana.
Atas usulan Ibu Maria Ulfah, Menteri Sosial Pertama RI, dipilhalah Linggajati, kawasan peristirahatan di Kuningan sebagai tempat perundingan. Selain tidak jauh dari Jakarta dan masih berada di wilayah kekuasaan RI, suasana Kuningan yang sejuk dan nyaman memberikan nilai tambah sebagai tempat perundingan.
Pada tanggal 11-13 November diadakan Perundingan Liggarjati antara Pemerintah Indonesia ddan Pemerintah Belanda yang menghasilkan Naskah Linggarjati sehingga gedung ini sering disebut GEDUNG PERUNDINGAN LINGGARJATI.
TAHUN 1948-1950
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresinya yang ke-2, dimana Belanda berhasil merebut Jogjakarta dan menawan para pemimpin Republik. Pada masa-masa Agresi Militer ke-2 gedung Linggarjati dijadikan markas oleh Belanda.
TAHUN 1950-1975
Gedung Linggajati dijadikan Sekolah Dasar Negeri Linggarjati
TAHUN 1975
Bung Hatta dan Ibu Sjahrir berkunjung dengan membawa pesan bahwa gedung ini akan dipugar oleh Pertamina, tetapi usaha ini hanya sampai pembuatan bangunan Sekolah untuk SDN Linggarjati
TAHUN 1976
Pemerintah menyerahkan gedung ini kepada Departemen Penidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan museum memorial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar