PUSAKA DI TEPI KALI JAGA
The desire to all the wali
The eight who made the relic (tilas)
A little something rather grand
Was to create a new mosque
A sacred site of power for the Kingdom of Demak
A pusaka for all the kings
Of all the Land of Java
Babad Jaka Tingkir XIV:3
(Diterjemahkan oleh Nancy Florida)
Masjid Agung Demak dibangun oleh Wali Sanga pada masa Kerajaan Demak dipimpin Raden Patah. Dia didirikan sebagai pusaka bagi seluruh raja di Tanah Jawa. Kini masjid sudah berusia lima abad dan dilindungi undang-undang sebagai cagar budaya.
MASJID AGUNG DEMAK
Museum Masjid Agung Demak berdiri di samping Masjid. Koleksi museum terdiri dari beduk dan kentongan Wali abad ke-15, sepotong kayu dari sakatatal Sunan Kalijaga, kitab tafsir Al Qur’an Juz 15-30 tulisan tangan Sunan Bonang, Pintu Bledeg karya Ki Ageng Sela, gentong masa Dinasti Ming, maket masjid, foto-foto, dan lain-lain.
RUANG PENYIMPANAN SAKAGURU
Ruang penyimpanan sakaguru di depan museum terdapat potongan-potongan sakaguru atau konstruksi utama yang sudah rusak. Empat konstruksi yang dikenal adalah Sakaguru Sunan Ampel (Surabaya), Sunan Bonang (Tuban), Sunan Gunung Jati (Cirebon), Sunan Kalijaga (Demak).
Sakaguru Sunan Kalijaga memiliki nama khusus yaitu sakatatal. Tatal adalah serpih-serpih kayu yang diketam. Memang dijumpai kisah dalam Babad Jaka Tingkir tentang suatu hari yang ditetapkan untuk membangun masjid. Sakaguru yang didelegasikan kepada Sunan Kalijaga masih tidak terlihat batang hidungnya. Sunan Kalijaga sendiri malahan asyik tirakatan di Pamantingan.
Sunan Bonang lalu memanggil dan menegurnya. Sunan Kalijaga tak banyak berkata. Beliau mengumpulkan serpih kayu, sisa-sisa sakaguru yang sudah jadi. Menyusunnya menjadi sebuah tiang kemudian dengan kekuatan spiritual memampatkan seluruh serpih menjadi tiang. Demikianlah mengalir kisah sakatatal yang jadi dalam waktu semalam.
Aku adalah satu dari orang-orang yang tidak akan tega menyebut kisah ini legenda. Sebab keindahannya begitu terasa menyentuh hati. Jika saja aku juga diberi anugerah untuk percaya tapi aku memang berusaha menemukan cara untukku memahami sakatatal.
EMPAT SAKAGURU MASJID AGUNG DEMAK
(Sumber: Brosur Masjid Agung Demak)
Membaca Writing the Past, Inscribing the Future (Nancy Florida, 1995) aku kira mendapatkan sebagian jawabannya. Sebagai berikut yang kujumpai.
Arsitek Masjid adalah Wali Sanga, sekaligus mengatur pembagian tugas yang melibatkan semua pihak dalam pembangunannya. Para Wali sendiri akan membangun empat saka guru (tiang atau kolom utama). Wali-wali setelah Wali Sanga saka pangendhit. Ulama dan elit spiritual lainnya saka rawa. Sedangkan para adipati menyediakan balok primer, keluarga kerajaan dan bangsawan lainnya balok sekunder dan rangka atap. Elit militer menyediakan penopang rangka atap dan pagar.
Pembangunan atap dari sirap berdasarkan sami urunan kewala, yakni kontribusi rakyat.
Rencana arsitektur ini menyingkapkan skema hierarki otoritas yang rapi. Di tempat tertinggi adalah Wali Sanga, kemudian elit spiritual lainnya. Para adipati serta keluarga bangsawan saling terkait atau mendukung dalam struktur sosial politik. Pagar yang disumbangkan pihak militer menunjukkan tanggung jawab sebagai penjaga bangunan dan mengamankan perbatasan.
Perhatikan bagaimana elit spiritual memberi kontribusi tiang-tiang yang berdiri secara vertikal dan elit keraton dengan balok-balok melintang secara horizontal. Lalu bagian rakyat dikemukakan peneliti naskah kuno Nancy Florida, ‘The ‘people’ come last, in a multitude of undifferentiated ‘everyones’; they seemingly ‘just chip in’ to cover over the structure and to provide its mass.'
Hierarki yang rapi memang. Tapi kemudian terciptalah satu sakaguru dari serpih-serpih.
‘For what could be more constestatory of the rigidity of the hierarchy than the fact that its grounding authority is nothing more, or less, than a fabrication from fragments and residues?’ (Florida, 1995)
Barangkali memang tak ada yang lebih bertabrakan dengan hierarki yang rigid daripada kenyataan otoritasnya berasal dari serpih-serpih.
Kalijaga adalah sunan yang sangat dicintai. Aku rasa dari seorang tokoh sebab paling dalam dia dicintai adalah karena dia berpihak kepada 'serpih-serpih' orang-orang kecil yang terbuang dan keberpihakannya mengandung tulus.
Ah iya. Hari ini biarlah aku ingin merasa jika inilah pusaka yang diwariskan Sunan Kalijaga untuk raja-raja di seluruh Tanah Jawa.
MAKAM RADEN PATAH
(KANAN)
Di belakang museum terdapat makam Raden Patah (Sultan Demak I, 1478-1518), Raden Patiunus (Sultan Demak II, 1518-1521), Raden Trenggana (Sultan Demak III, 1521-1546), dan anggota keluarga kerajaan lainnya. Patiunus atau Pangeran Sabrang Lor adalah pemimpin armada gabungan Kesultanan Banten, Cirebon, dan Demak menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1521.
Jika pengunjung cukup akrab dengan Arus Balik maka makam Pangeran Seda Lepen (putra kedua Raden Patah) adalah daya tarik tersendiri. Pramoedya Ananta Toer mengisahkan di Bab 27, ‘Portugis berpesta lagi di Malaka, juga di Pasai, mengetahui bahwa Trenggono dapat naik ke atas tahta hanya dengan melalui bangkai abang kandungnya sendiri, Pangeran Seda Lepen...’
Hal serupa dikemukakan Slamet Muljana (Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, 2005), 'Dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan bahwa Pangeran Seda Lepen dibunuh oleh Sunan Prawata, putra sulung Trenggana...Kiranya, Pangeran Seda Lepen alias Raden Kikin merupakan penghalang bagi Raden Trenggana...untuk mewarisi takhta kesultanan Demak sepeninggalan adipatu Yunus...sebabnya karena Raden Kikin lebih tua daripada Raden Trenggana. Namun, Raden Kikin lahir dari istri ketiga, sedangkan Raden Trenggana lahir dari istri pertama. Itulah sebabnya Sunan Prawata menyirnakan Raden Kikin alias Pangeran Seda Lepen.'
MAKAM PANAGERAN SEDA LEPEN
(TENGAH)
Beginilah kisah. Ketika Trenggana mati terbunuh (1546), tahta Demak dilanjutkan Sunan Prawata (anak Trenggana). Di tahun yang sama, Pangeran Arya Penangsang (anak Seda Lepen) menyerang Demak. Keraton dibumihanguskan untuk membalas kematian ayahnya serta merebut tahta.
Prawata meninggal dalam pertempuran. Sedangkan Arya Penangsang tewas ditombak Jaka Tingkir menantu Prawata. Jaka Tingkir kemudian mendirikan Kesultanan Pajang, bergelar Sultan Adiwijaya.
Perebutan tahta, sengketa sengit saling mencelakakan sudah cerita dari dulu sampai sekarang.
Barangkali jadi orang kecil, orang yang sehari-hari, biasa, adalah ternyata sebuah anugerah. Mesti sekali-kali rayakan kita orang biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar