Translate

Implikasi Konstruktivisme Terhadap Pengajaran

 

Oleh

JERE CONFREY

 

            Pada bagian ini, tinjauan terhadap pengajaran langsung ditindak lanjuti oleh suatu diskusi teori konstruktivisme, dan sebuah perhatian tentang makna konstruktivisme dalam kelas. Model pengajaran diusulkan dengan 6 komponen, yaitu: (1) memperkenalkan kemandirian (otonomi) siswa, (2) pengembangan proses reflektif siswa, (3) konstruksi cerita kasus, (4) identifikasi dan negosiasi alur pemecahan tentatif, (5) penyelidikan kembali dan diskusi kelompok, dan (6) konsistensi terhadap kandungan materi.

Analisis Pengajaran Langsung

            Pengajaran langsung merupakan bentuk pengajaran yang paling banyak dikaji dalam matematika. Dalam model  pengajaran ini, seseorang menemukan urutan peristiwa yang relatif sama, yakni: pendahuluan, pengembangan, peralihan terkendali ke seatwork dan priode seatwork individu. Ada tiga asumsi utama tentang pengajaran matematika yang mendasari pengajaran langsung:

1.      Hasil-hasil yang relatif singkat diharapkan dari siswa ketimbang jawaban-jawaban pertanyaan selama proses pengajaran; pemberian tugas/pekerjaan rumah dan butir-butir soal diterima sebagai instrumen penilaian yang memadai tentang keberhasilan pengajaran.

2.      Pada umumnya guru hanya dapat melaksanakan rencana dan rutinitasnya sambil memeriksa apakah jawaban siswa berada dalam batas-batas yang diharapkan, serta melakukan revisi pengajaran bila jawaban siswa melewati batas-batas tersebut.

3.      Tanggung jawab untuk menentukan tercapai tidaknya tingkat pemahaman yang memadai sangat bergantung pada guru.

1

 
Suatu kenyataan bahwa pengajaran langsung tidak dapat memperbaiki kemampuan dasar untuk pengembangan siswa yang memiliki keterampilan kognitif yang lebih tinggi. Doyle, saford dan Emmer (1983) mengevalusi pandangan siswa terhadap “kerja akademik” dalam kelas tradisional, dan menemukan bahwa siswa merasa yakin, guru mengajar secara langsung dan jarang menemukan sesuatu yang bermakna ganda, serta resiko tugas dalam kelas, guru sebagai mediator terhadap pengembangan keterampilan kognitif yang lebih tinggi. Tantangan lain pengajaran langsung berasal dari penelitian pada miskonsepsi (Confrey, 1987) miskonsepsi ini menentang kebiasaan dalam bentuk pengajaran tradisional (C;ement, 1982; Erlwanger, 1975; Vinner, 1983), sehingga dibutuhkan bentuk pengajaran alternatif.

Usaha untuk mengembangkan bentuk pengajaran yang mengatasi miskonsepsi difokuskan pada kebutuhan siswa, sehingga siswa dapat membuat model konseptual secara eksplisit (Baird & White, 1984; Lonhhead, 1983a; Novak & Gowin, 1984; Nussbaum, 1982). Model pengajaran ini mendorong pemecahan masalah dalam kelas dengan menekankan pada kebutuhan untuk membantu tugas guru dan mengembangkan komitmen untuk mengaktifkan siswa. Pendekatan filosofis sebagian besar memperdebat-kan bahwa semangat untuk mengaktifkan siswa adalah konstruktivisme.

Konstruktivisme

Teori konstruktivisme tampaknya menjadi sebuah sumber alternatif yang ampuh bagi pengajaran langsung. Konstruktivisme pada dasarnya merupakan sebuah teori tentang batas-batas pengetahuan manusia, suatu keyakinan bahwa semua pengetahuan harus merupakan produk dari tindakan kognitif dari masing-masing individu. Kita tidak dapat memperoleh pengetahuan langsung atau pengetahuan tak termidiasi dari sebuah kenyataan eksternal. Kita mengkonstruk pemahaman melalui pengalaman, dan pengalaman tersebut sangat dipengaruhi oleh lensa kognitif kita. Bagi pengikut konstruktivisme, sirkulasi seperti itu harus diterima dan tidak terhindari. Akan tetapi, gambaran seseorang tentang dunia tidaklah statis; persepsi kita bisa dan memang berubah. Dengan cara mengkoordinasikan berbagai konstruksi dari input saraf menjadi refleksi mediatif, kita dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan dan kita memunculkan inisiatif lain.

Akibat penolakan kaum konstruktivis tentang akses langsung pada keberadaan sebuah benda ialah bahwa otoritas justru terletak pada daya persuasif argumen seseorang dan pada kemampuan seseorang menyusun fakta-fakta yang mendukung suatu posisi. Kaum konstruktivis mengakui bahwa bentuk-bentuk argumen seperti ini juga ada dalam budaya percakapan (discourse). Meskipun konstruktivisme sering disamakan dengan skeptisisme, seorang konstruktivis harus mengembangkan kemampuan fleksibilitasnya. Seorang pendidik konstruktivis harus mendekati suatu respons asing dengan minat murni untuk mempelajari ciri-ciri, asal-usul, sejarah dan implikasi dari respons tersebut.

Piaget memberikan kunci dasar dalam pengajarannya dimana ia menunjukkan bahwa seorang anak bisa memahami suatu gagasan matematis atau ilmiah dengan cara yang agak berbeda dari yang dipahami oleh orang dewasa yang ahli atau berpengalaman dengan gagasan itu. Hal ini terjadi karena gagasan anak juga memiliki bentuk argumen yang berbeda, dibangun dari materi yang berbeda, dan didasarkan pada pengalaman yang berbeda pula. Secara kualitatif, gagasan anak bisa berbeda dalam arti bahwa gagasan tersebut hanyalah sebuah alternatif. Bagi anak, gagasan itu bisa jadi sangat menyenang-kan, dan tidak akan diganti dengan gagasan atau model lainnya karena yakin bahwa gagasan tersebut pasti memerankan tujuan tertentu. Sebelum anak mengubah keyakinan itu, mereka harus dibujuk bahwa gagasan tersebut tidak efektif lagi atau alternatif lain lebih baik.

Penerapan konstruktivisme pada issu pengajaran hendaknya menolak asumsi bahwa orang hanya dapat menyampaikan informasi kepada sejumlah pelajar dan harap bahwa pemahaman akan terjadi. Komunikasi adalah proses yang jauh lebih rumit dari pada hal ini, sebagai sebuah bentuk komunikasi, bila mengajarkan konsep guru harus membentuk model yang cukup memadai tentang cara siswa memandang suatu gagasan dan kemudian membantu mereka menyusun pandangan-pandangan tersebut agar lebih memadai dari sudut pandang siswa dan guru.

Konstruktivisme tidak hanya mementingkan peran pokok dari proses konstruktif, tetapi ia juga memungkinkan seseorang untuk menekankan bahwa kita setidaknya bisa memahami konstruk-konstruk itu, lalu memodifikasinya lewat refleksi yang disengaja pada proses konstruksi itu. Sebagaimana Toulmin (1972) katakan, “manusia tahu dan ia sadar bahwa ia tahu”.

Dalam matematika, proses reflektif sangat penting. Hal ini tidak disebabkan oleh karena matematika dijauhkan dari pengalaman sehari-hari, tetapi karena matematika tidak dibangun dari data sensori namun dari aktivitas manusia (matematika adalah bahasa tindakan manusia): berhitung, menggandakan, mengurutkan, membandingkan, dsb. Akibatnya, untuk menciptakan bahasa demikian, kita harus berefleksi terhadap aktivitas itu, belajar melaksanakannya dalam imajinasi kita, memberi nama dan merepresentasikan-nya dalam bentuk simbol dan imajinasi. Refleksi berfungsi sebagai usaha yang dengan usaha itu matematikawan berdiri tegak guna menstabilkan konstruk yang ada dan memperoleh posisi untuk menciptakan konstruk berikutnya. Matematikawan bertindak seolah-olah sebuah gagasan matematika memiliki keberadaan eksternal yang mandiri; namun konstruktivis menginterpretasi hal ini untuk memberi makna bahwa matematika-wan dan masyarakatnya telah memilih untuk tidak mempertanyakan konstruk itu, melainkan menggunakannya seolah-olah itu nyata sambil menilai kelayakannya setiap saat.

Sering paham konstruktivis dikritik, yang dianggap sangat relativistik. Argumentasi bahwa jika setiap sesuatu harus mereka sendiri yang mengkonstruk dan jika tidak ada pendekatan eksternal yang dapat menilai mutu konstruk itu, maka setiap sesuatu yang dikonstruk harus dengan cara yang valid (sah). Dua jawaban yang ditawarkan terhadap argumentasi ini:

Pertama, yang bersifat proses konstruk adalah mengikuti kondisi sosial. Kita menyesuaikan dimana persoalan itu disodorkan, metode pengujian masalah, pilihan sumber daya untuk memecahkan masalah, dan tingkatan ketegasan penerimaan solusi yang sesuai dengan proses individu dan sosial. Suatu konstruksi mengasumsikan bahwa ada pengaruh dari yang mengkonstruk. Keriteria untuk manaksir kekuatan seseorang mengkonstruk akan dibahas dalam bagian kekuatan konstruksi.

Kedua, seseorang tidak pernah dapat mengeatahui apakah orang lain mengkonstruk dengan beberapa ketentuan. Komunikasi antara manusia berfungsi dua arah; usaha manusia untuk menilai kongruensi antara konstruk mereka melalui penggunaan bahasa mereka, pilihan referensi, dan menyeleksi contoh; secara bersamaan mereka mencoba untuk menilai kekuatan konstruksi orang lain sebagai sesuatu sistem kemandirian memperhatikan tingkatan yang nyata tentang konsistensi internal konstruk tersebut. Contoh dalam pendidikan matematika seorang guru harus mengkonstruk suatu model memahamkan siswa dari apa yang diajarkan sesuai apa yang mereka ketahui, sedangkan penerapannya, guru mengkonstruk sebagaimana siswa mengkonstruk. Seorang guru harus selalu memberi perhatian pada kemungkinan-kemungkinan kontruksi siswa, tidak peduli perbedaan dengan konstruksi guru, boleh memiliki suatu tingkatan kebanyakan kebenaran internal, oleh karena itu harus memberikan intruksi yang sesuai.

Membandingkan manfaat matematika dalam melihat bagaimana matematika yang bukan suatu uraian kenyataan eksternal, tetapi sebaliknya matematika adalah suatu konstruk manusia yang ditemukan untuk mencapai tujuan manusia. Perhatikan suatu alat seperti; sendok, pembuka kaleng, atau komputer. Suatu alat digunakan harus mematuhi fungsinya, kapan digunakan kehal yang lain akan ada akibat yang timbul pada alat itu, artinya fungsinya tidak netral. Setiap alat, yang diutamakan adalah kegunaannya. Struktur dan fungsinya saling berhubungan. Suatu alat kuat, karena penggunaannya yang luas. Jika alat itu terlalu mengkhusus, maka alat itu akan sering tidak difungsikan. Ahli antropologi menguji budaya jaman kuno menemukan telah tahan lama dan telah melekat pada kehidupan sehari-hari. Suatu alat dirancang untuk menyelamatkan usaha manusia, sehingga manusia bisa hidup lebih lama. Ternyata matematika seperti itu dan perubahannya mencerminkan perubahan dalam berbagai macam aktivitas manusia.

Sebagai seorang konstruktivis, ketika saya mengajarkan matematika, saya tidak perlu mengajar siswa tentang struktur objek matematika yang ada di dunia, tetapi cukup mengajari mereka bagaimana cara mengembangkan pengamatan mereka, bagaimana cara melihat dunia dengan sebuah kumpulan lensa kuantitatif yang memberi pengertian dunia. Bagaimana cara agar melalui lensa itu dapat diciptakan semakin banyak lensa dan bagaimana menghargai peran lensa bermain dalam mengembangkan budayanya. Saya sedang berusaha mengajar mereka untuk menggunakan suatu alat yang menyangkut akal, yaitu matematika.

Beberapa Implikasi Konstruktivisme pada Pengajaran Matematika

Teori konstruktivis memiliki implikasi untuk pengajaran matematika. Siswa biasanya mengkonstruk pemahaman untuk pengalaman mereka. Penelitian terhadap miskonsepsi siswa, konsepsi alternatif, dan pengetahuan sebelumnya dapat diperbaiki dengan konstruktif. Kenyataan itu menunjukkan bahwa konstruk siswa kita lemah; konsistensi internal mereka kurang, dan hanya menjelaskan fenomena yang terbatas. Pengajar matematika harus memperkenalkan kepada siswanya pengembangan penguatan dan konstruksi yang efektif.

Kualitas yang paling mendasar dari suatu konstruk yang baik adalah, bahwa siswa harus mempercayainya. Ironisnya, pada sebagian besar pengetahuan formal, siswa membedakan antara percaya dan tahu. Bagi seorang konstruktivis, pengetahuan tanpa keyakinan adalah hal yang kontradiktif. Karena itu, saya menegaskan bahwa otonomi pribadi merupakan tulang punggung dari proses konstruk.

            Selain itu, konstruk yang baik biasanya ditandai oleh ciri-ciri berikut:

  1. struktur dengan ukuran konsistensi internal;
  2. integrasi lintas berbagai konsep;
  3. konvergensi antara beragam bentuk dan konteks makna;
  4. daya reflektif dan deskriptif;
  5. kontinuitas sejarah;
  6. keterkaitan dengan berbagai sistem simbol;
  7. kesesuaian dengan para ahli;
  8. potensi untuk bertindak sebagai alat bagi konstruk berikutnya;
  9. petunjuk bagi tindakan-tindakan masa depan; dan
  10. kemampuan untuk dijastifikasi dan dipertahankan.

Inti dari paper ini adalah bahwa siswa harus belajar mengkonstruksi gagasan-gagasan yang cemerlang dan bahwa proses konstruksi ini memerlukan koordinasi dan konvergensi dari cara-cara mengetahui yang diungkapkan pada ciri-ciri konstruk yang baik di atas.

Seperangkat Asumsi Alternatif

Konstruktivisme menekankan siswa untuk membuat konstruk yang lebih baik. Variasi tetap diharapkan, dan siswa diberikan tanggung jawab utama untuk menilai kualitas sebuah konstruk. Tujuan pengajaran dapat dinyatakan sebagai:

Seorang guru hendaknya mendorong perkembangan setiap individu dalam kelasnya masing-masing untuk bertanya, mengkonstruksi, mengekspolarasi, memecahkan, dan menjustifikasi masalah-masalah dan konsep-konsep matematika dan berusaha mengembangkan kemampuan siswa untuk melakukan refleksi dan mengevaluasi kualitas konstruknya masing-masing.

Tujuan di atas memberikan isyarat diterimanya 3 asumsi:

  1. Guru harus membangun model pemahaman matematika siswa. Untuk itu, guru perlu menciptakan sebanyak dan seberagam mungkin cara pengumpulan fakta untuk menilai kekuatan konstruk seorang siswa. Ini berarti bahwa guru menciptakan sebuah “studi kasus” dari setiap siswa.

2.      Pengajaran bersifat alternatif; melalui interaksi dengan siswa berkaitan dengan pengetahuannya mengenai pokok bahasan, guru mengkonstruk alur tentatif yang mungkin bisa digunakan siswa untuk mengkonstruk sebuah gagasan matematika yang lebih cocok dengan pengetahuan matematika pada umumnya. Akan tetapi, guru harus sudah dipersiapkan dengan kemungkinan bahwa konstruk siswa tidak akan sesuai dengan konstruknya sendiri, dan mendorong siswa mengungkapkan keyakinannya agar guru bisa memahaminya. Lalu, guru harus dipersiapkan untuk merevisi keyakinannya sendiri atau bernegosiasi dengan siswa untuk menemukan alternatif yang bisa diterima bersama. Jika siswa mengajukan solusi yang jelas-jelas lemah argumentasinya, guru perlu menjelaskan kepada siswa bahwa posisi legitimasinya lemah.

3.      Pada akhirnya, siswa harus menentukan kecukupan konstruknya.

Dengan menggunakan asumsi-asumsi alternatif ini, pengujian guru mengenai keyakinan-keyakinan konstruktivis dilakukan pada bagian kedua artikel ini

Isi

Penelitian ini terjadi pada program Summer-Math, yang khusus diperuntukkan bagi wanita muda. Sebagian besar pesertanya mampu secara akademik, namun mengalami kesulitan di bidang matematika. Karena beasiswa tidak tersedia di saat itu, peserta umumnya berasal dari kelas menengah ke atas. Evaluasi lanjutan tentang program tersebut menunjukkan bahwa skor SAT mahasiswa memperlihatkan peningkatan dan para lulusan melaporkan bahwa mereka lebih tekun, lebih percaya diri, dan banyak bertanya.

Maksud penelitian ini adalah mengkonstruk sebuah model dari praktek seorang guru yang memilki komitmen terhadap keyakinan para konstruktivis. Instruktur dipilih berdasarkan kecakapan mengajarnya, dan dievaluasi oleh mahasiswa pada program itu selama dua musim panas ditegaskan kembali selama tahun ketiga. Instruktur tersebut secara konsisten menerima penilaian yang kuat baik pada akhir program itu maupun pada evaluasi lanjutan empat bulan berikutnya.

Penelitian dilakukan selama minggu kedua dari enam minggu masa program itu. Sebuah kelas yang diberi nama Fundamental Mathematics Consepts, Level I dipilih sebagai objek penelitian. Topik minggu itu diwakili oleh pecahan; materi dirancang untuk menggambarkan kesalahan pemahaman (miskonsepsi) dan mengembangkan koordinasi manipulasi aritmatika tentang pecahan dengan peragaan pada gambar. Kesebelas wanita muda di kelas itu bervariasi dari 9 sampai 11. Agar bisa berbeda di kelas ini, mahasiswa harus memperoleh skor di bawah 45% penempatan berbentuk pilihan ganda yang tersusun atas 25 butir dari kurikulum sekolah tinggi.

Organisasi dan langkah kelas itu sangat berbeda dengan kelas biasa. Mahasiswa di kelas tersebut bekerja berpasangan pada materi kurikulum yang disediakan setiap hari. Dengan menggunakan metode pemecahan masalah secara berpasangan versi Whimbey and Lochhead (1980), mahasiswa memecahkan masalah itu secara bergiliran. Satu mahasiswa diharuskan berbicara berdasarkan masalah itu dan mahasiswa lainnya mengajukan pertanyaan tentang metode itu. Kecuali satu minggu masa training khusus tentang metode itu, mahasiswa sering memecahkan masalah secara bersama-sama.

Fokus penelitian ini adalah interaksi guru dengan siswa. Data diambil dari rekaman interaksinya. Secara konsisten di rekaman itu terlihat bahwa siswa mendominasi pembicaraan dan menulis. Kecepatannya jauh lebih rendah daripada kelas-kelas tradisional; siswa tidak lazim menyelesaikan dua atau tiga masalah saja dalam suatu kelas.

Metode

Model penelitian digambarkan oleh Donald Schon (1983) dalam bukunya “The Reflective Practitioner”. Ia mengembangkan gagasan “refleksi dalam tindakan”. Ia mengungkapkan bahwa banyak pengetahuan praktisi yang tak terungkapkan; bekerja atas tindakan, keputusan, dan penelitiannya sendiri namun tidak dapat dinyatakan dalam keadaan biasa.

Sejalan dengan pandangan Schon, seorang peneliti dan guru bersama-sama mengevaluasi praktek mengajar guru dengan maksud untuk mencoba mengembangkan sebuah pengajaran yang dapat diterima baik bagi guru maupun bagi peneliti.

Sampai di sini, selama 5 hari kelas dipidiotepekan selama jam pelajarannya ditambah setengah jam. Dua mahasiswa di kelas di pilih dan dibayar untuk diinterviu setiap hari, dan pekerjaannya dikumpul dan diperbanyak setiap hari. Mereka juga diminta menangani jurnal khusus bagi summer-nya. Setiap sore selama lima hari itu, instruktur dan peneliti mendiskusikan pengajaran hari itu. Setiap hari instruktur menggambarkan issu-issu signifikan yang dirasakan, menggambarkan interaksi dengan kedua mahasiswa itu, dan kemudian mempelajari bagian-bagian rekaman itu, sambil menjawab pertanyaan peneliti dan mengomentari bagian-bagian yang dianggap signifikan. Fokusnya terletak pada penjelasan tentang cara dia memahami perannya di kelas. Interviu berlangsung 60 – 90 menit setiap hari.

Selama 4 hari terakhir, setelah menginterviu instruktur, peneliti menginterviu selama 45 – 60 menit ini dimulai dengan interviu klinis mengenai salah satu masalah yang didiskusikan pada rekaman itu. Lalu, interaksi yang terekam antara intruktur dan mahasiswa ini dipelajari dan dibahas dengan penekanan pada keyakinan mahasiswa tentang apa yang dikatakan atau dimaksudkan oleh instruktur.

Hasil

Hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk model pengajaran guru yang mencakup 6 komponen, yakni: (1) peningkatan otonomi dan komitmen pada siswa, (2) pengembangan proses refleksi siswa, (3) konstruk cerita-cerita kasus, (4) identifikasi dan negosiasi alur-alur pemecahan tentatif dengan siswa, (5) penelusuran alur-alur pemecahan tersebut, dan (6) konsistensi terhadap kandungan materi.

Untuk setiap komponen, tehnik khusus yang digunakan oleh guru digambarkan dan dibahas dengan contoh menarik dari pemutaran vidiotepe dan wawancara.

1.      Peningkatan Otonomi dan Komitmen

Pada bagian awal diungkapkan bahwa otonomi pribadi merupakan tulang punggung proses konstruk. Baird and White (1984) berpendapat bahwa kemajuan yang signifikan dalam hal pembelajaran siswa bergantung pada perubahan mendasar dari guru ke siswa dalam hal tanggung jawab dan pengendalian atas pembelajaran itu. Dalam hal ini, ia meminta agar siswa membuat komitmen terhadap jawaban-jawabannya. Ia menggunakan 4 teknik untuk mencapai tujuan ini, yakni: (a) ia menanyakan kembali jawaban siswa apakah jawaban tersebut benar atau salah, (b) ia menekankan agar siswa terlibat dalam sebuah masalah setidaknya menjelaskan apa yang mereka telah coba, (c) ia akan memberikan petunjuk secukupnya kepada suatu kelompok agar kelompok tersebut memulai konstruknya, dan (d) ia menekankan pentingnya menyuruh siswa mengevaluasi keberhasilannya sendiri. Tanda kutip berikut dari wawancara dengan guru menggambar-kan teknik ini.

Tetapi dia tidak memberi apapun saya untuk bekerja selain perkatan “kamu hanya memberi kami bahan yang sulit untuk kami lakukan, kami orang bodoh”. Saya tidak dapat menghadapi mereka sampai mereka memulai kegiatannya, dan dari situ mendapat titik terang untuk mendiskusikan apa yang dia ketahui dan apa yang tidak ketahui. Mengapa? Dia akan mengambil kesimpulan tentang dirinya sendiri.

 

Jika saya berdiri di sana, mereka akan secara terus menerus melihat kepadaku untuk mengetahui kebenaran tiap-tiap garis yang mereka gambar. Saya menjauh agar mereka dapat melakukan.

 

Para siswa memperoleh suatu kesuksesan, dan suatu arah untuk melakukan itu. Kami dapat menceritakan kepada mereka bahwa mereka baru saja melakukan suatu keberhasilan. Namun mereka telah memulai dan duduk di sana. “ Saya baru saja melakukan semua ini sepanjang hidupku.” Saya berpikir bahwa kesempatan ini sangat berharga. Tercermin dari mereka apa yang “saya telah lakukan” apa yang mereka telah lakukan, pengakuan meraka telah melakukan sesuatu; mereka telah “memecahkan” masalah.

 

Perlunya meningkatkan level otonomi dalam matematika terus menerus dibahas dalam metode-metode pengajaran guru ini. Ia percaya bahwa ukuran otonomi merupakan sebuah prasyarat untuk mengembangkan kesadaran diri yang individu perlukan untuk menjadi pemecahan masalah yang sukses. Segera setelah siswa mulai bertanggung jawab atas pemikirannya sendiri, guru bisa beralih untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan refleksi lainnya.


2.      Pengembangan Proses Refleksi Siswa

Refleksi merupakan usaha untuk mengkonstruk gagasan-gagasan matematika. Untuk dapat meningkatkan kesadaran siswa akan pemecahan masalahnya, guru mengajukan 3 kategori pertanyaan yang sesuai dengan ketiga tahap konstruk yang diungkapkan dalam Confey (1985): tahap permasalahan, tindakan, dan refleksi. Dalam karya itu, agar siswa dapat memodifikasi dan menyesuaikan konstruknya, mereka harus: (1) menemukan situasi dimana mereka secara pribadi merasakan adanya masalah, (2) berusaha memecahkan masalah itu dengan menggunakan berbagai bentuk makna, dan (3) mengakses keberhasilan tindakannya dalam memecahkan masalah itu atau menentukan permasalahan apa yang tertinggal. Dalam hal ini, ada kenyataan bahwa ia menggunakan 3 tingkatan pertanyaan untuk meningkatkan kesadaran siswa tentang strategi dan metodenya sendiri.

Level 1: Interpretasi Masalah. Pertanyaan-pertanyaan ini memuat permintaan untuk membaca ulang atau menyatakan kembali pertanyaan itu. Dalam mengajukan pertanyaan ini, guru sering memusatkan perhatian siswa pada bahasa yang siswa gunakan. Pertanyaan ini tampak sederhana bagi seorang pengamat; namun siswa sering kesulitan mengulangi permasalahan itu atau melukiskannya dalam bentuk lain. Mereka sangat tak terbiasa berbicara secara sistimatis sehingga pertanyaan-pertanyaan pada level ini memainkan peran penting. Bahkan jawaban siswa terhadap pertanyaan ini berdampak langsung pada keberhasilan memecahkan masalah itu.

Level 2: Strategi Kognitif. Guru akan menyuruh seorang siswa melukiskan apa yang sedang dikerjakannya. Ia akan menggunakan tingkat akurasi pertanyaan-pertanyaan siswa sebagai standar. Ia tidak akan mengizinkan siswa memperkenalkan istilah matematika atau rumus tanpa menjelaskan istilah atau rumus itu kepadanya.

Suatu interaksi khusus guru/siswa, dimana mereka mendiskusikan perbandingan gambar 13/5 dan 21/10, menggambarkan tingkatan dua tanya-jawab. Siswa mencoba menggambar untuk membandingkan 2/3 dan 5/7 dan strategi itu yang digunakan untuk memecahkan 13/5 dan 21/10.

Guru:   Bagaimana cara kita melakukan yang kelima dan yang kesepuluh.

Siswa:  Tetapi itu dalam proporsi.

Guru:   Apa maksud kamu. “dalam proporsi”

Siswa:  Bukan proporsi, keduanya adalah sama. Yang kecil, em, berarti keduanya tidak sama, tetapi saya tahu apa yang saya maksud.

Guru:   Saya tahu apa yang kamu maksud, tetapi sekarang kamu harus ceritakan.

Siswa:  Saya bermaksud, saya tidak bisa pikirkan suatu kata. Saya anggap lima adalah separuh dari sepuluh; oleh karena itu kami membagi permainan lima ke separoh. Itu baru saja menambahkan lebih lima. Saya tidak tahu bagaimana cara menjelaskan itu. Saya anggap kamu mempunyai lima komponen dan kamu membaginya ke dalam separuh, dan itu selalu ganda. Tetapi seperti jika kamu mengambil tiga hal dan membaginya ke dalam separuh, kamu akan memperoleh enam hal dan bukan tujuh. Oleh karena itu, saya anggap kamu mempunyai satu masalah yang berbeda.

 

Ketika guru mengharuskan siswa untuk menjelaskan maksud proporsi, dia mengungkapkan tendensinya untuk beripikir meningkatkan sebutan sebagai operasi aditif, dan dia meninjau kembali pendekatannya ke yang multiplikatif. Jika dia tetap berpikir tentang perubahan dari kelima ke kesepuluh seperti aditip, maka perubahan ketiga ke ketujuh tidak akan terasa susah, tetapi metodenya hampir dipastikan akan gagal. Setelah perubahan ini, siswa memasangkan dan guru bekerja dengan suatu metode untuk membagi persegipanjang tegak ketiga bagian dan secara horisontal ketujuh bagian untuk membuat ke 25 unit dan bandingkan ukuran relatifnya.

Level 3: Pembenaran Strategi. Segera setelah siswa mampu menceritakan permasalahan itu kepada guru dan cara pemecahannya, guru mulai meminta siswa untuk mempertahankan jawaban mereka. Ia meminta penjelasan yang sesuai dengan interpretasi siswa mengenai permasalahan itu serta metode strategi yang mereka sudah konstruk.

Pengembangan proses refleksi siswa menjadi tujuan utama pengajaran guru ini. Pada umumnya guru menggunakan 3 strategi untuk mengembangkan proses ini. Sebagian besar waktunya tersita untuk menyuruh siswa mendiskusikan interpretasi permasalahan dan menjelaskan secara cermat metode pemecahannya. Setelah itu, ia meminta siswa untuk mempertahankan jawabanya. Ada dua ciri interaksi guru: perhatian terpusat pada bahasa yang digunakan siswa dan penerimaan serta penelusuran tujuan akhir siswa tentang masalah itu.

3.       Konstruk Cerita Kasus

            Strategi bertanya tidak saja meningkatkan refleksi siswa, tetapi juga memungkinkan guru memperoleh pengetahuan dan pemahaman matematika. Guru sering bercerita tentang kecenderungan umum seorang siswa dalam pemecahan masalah, dan menggunakan informasi ini untuk merancang strategi pemecahan yang tepat. Karena pengetahuan ini melibatkan dimensi kognisi, afektif, dan personal, dibiasakanlah untuk menyebutnya sebagai konstruk guru tentang sebuah cerita kasus.

Berikut ini adalah ringkasan cerita kasus seorang siswa, joyce, yang berpartisipasi dalam interviu. Ia terus-menerus menolak penggunaan gambar dan hanya bergantung pada algoritma pinjaman dan aturan-aturan yang hanya dihafal separuh. Pada hari pertama, guru berkomentar bahwa ia mengalami kesulitan untuk menyuruh pasangan siswa ini untuk menggambar. Pada hari kedua, siswa kesulitan memecahkan masalah rasio. Joyce yang serta-merta mengganti dan mencoba menggunakan pesan, masih tidak mampu menjelaskan masalah itu. Guru mengungkapkan bahwa ia terlalu berlebihan mengerjakan masalah itu.

Melalui interaksi dengan siswa utamanya interaksi satu-satu, guru mampu membentuk model pendekatan karakteristik siswa yang ampuh untuk memecahkan masalah. Untuk dapat melakukannya, ia membuat berbagai sumber untuk membangun modelnya dengan menggunakan interaksinya dengan siswa, kinerja terhadap butir-butir utama kurikulum, dan pengamatannya terhadap interaksi siswa dengan siswa lainnya.

Sampai di sini, model pengajaran guru ini tampak relatif statis; guru telah menciptakan model yang ampuh mengenai gagasan matematika siswa, menegaskan otonomi dan menfokuskan perhatian siswa sembari meningkatkan kemampuan refleksinya. Kita mungkin bertanya, “kapan dia mulai mengajar?”. Pertanyaan ini menunjukkan bahwa kita kembali pada interpretasi lama pengajaran, yaitu “bercerita”. Kenyataannya, ketika mengamati rekaman pengajaran ini, tampak bahwa ia sungguh-sungguh sudah mengajar, sebab siswa belajar memecahkan masalah dengan baik sebagai hasil interaksinya dengan guru.

Bagi siswa, “kemajuan” ini mungkin diakibatkan oleh konteks tertentu. Diduga karena topiknya adalah representasi dari pecahan, guru melakukan pengajaran remedial, bukan pengajaran materi baru. Pertanyaan tentang bermanfaat-tidaknya model pengajaran ini dalam pengajaran materi baru harus tetap menjadi pertanyaan terbuka yang perlu diteliti lebih lanjut.

Pengajaran guru ini berkaitan dengan upaya menantang dan kengubah konsepsi yang dimiliki siswa. Guru akan mencoba membantu siswa membangun konstruk yang lebih baik dari sudut pandang siswa. Karena konstruk sendiri telah membentuk kerangka pikir untuk menyelidiki konstruk siswa, maka pengaruh konstruk tersebut terhadap pemberian arahan interaksi menjadi tak terhindarkan.

4.      Identifikasi dan Negosiasi Alur Pemecahan Tentatif

Dari rekaman dan interviu, ada kenyataan bahwa guru akan menanalisis kesulitan yang akan dialami siswa berkaitan dengan permasalahan, dan dengan pengetahuannya mengenai kasus siswa, ia akan mengembangkan sebuah alur pemecahan tentatif dan membicarakannya dengan siswa. Karena biasanya guru akan memilih masalah-masalah yang sulit secara konseptual dan membahasnya dengan semua siswa, maka peneliti dapat menganalisis perbedaan-perbedaan yang ada dalam pendekatannya. Keragaman metode yang digunakan menegaskan perlunya mengkonseptualkan pemahaman yang lebih interaktif tentang ruang kelasnya.

Dengan demikian, guru akan mengumpulkan bukti untuk membangun sebuah model pemikiran siswa tentang permasalahan. Dari model ini, ia akan mengkonstruk suatu alur pemecahan tentatif. Pada tingkat yang lebih luas, ia akan membangun pemahaman mengenai “kasus” siswa. Saat bekerja pada satu solusi, guru akan menguji kemampuan modelnya dari teori-teori siswa dan cerita kasusnya. Hasil tes ini bisa mengarah kepada perbaikan alur pemecahan tentatifnya. Selama minggu itu, terjadi perubahan dalam hal cara siswa memberi jawaban. Tatkala mereka menjadi lebih mandiri dan percaya diri, mereka mempengaruhi arah dan hasil interaksi.

Seperangkat strategi dirancang khusus untuk mendorong siswa membentuk konstruk yang lebih baik sebagaimana dibahas terdahulu. Strategi ini mencakup menghubungkan gagasan dengan konsep-konsep lain, menantang siswa memanfaatkan simbol dan bahasa Inggris untuk mengkomunikasikan gagasannya, mendorong sikap konsisten, membatasi ruang lingkup ide untuk memungkinkan terjadi resolusi ide, menanyakan makna, atau menelusuri ide dari berbagai perspektif. Ia sering memperkenalkan ukuran konflik kognitif guna melahirkan konstruk gagasan yang lebih baik.

Beberapa variasi pertanyaan yang ditanyakannya dapat digambarkan dengan sebuah daftar dimana pembaca disarankan lebih memperhatikan bentuk dari pada isi tertentu: “Bagaimana hal ini bisa berhubungan dengan hal yang anda lihat di sini? Adakah sesuatu yang anda lakukan di bagian terakhir yang dapat membantu dengan yang satu ini? Bisakah anda mengerjakan sesuatu yang serupa? Bagaimana bila saya memberi warna pada 7 kotak? Mana yang harus saya percaya, gambar anda atau diagram anda?” Pertanyaan-pertanyaan ini mengundang siswa untuk meperhatikan issu terdahulu, memecahkan konflik, dan menemukan analogi antara episode-episode yang berbeda.

Instruktur terkadang akan memberikan siswa petunjuk yang lebih terarah dalam memecahkan masalah. Dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang berorientasi pada hasil, guru akan menggerakkan siswa menuju sebuah solusi. Hal ini tampaknya muncul bila: (1) sikap toleransi siswa terhadap rasa frustrasi rendah; (2) siswa perlu mengalami kesuksesan atau kemajuan; dan/ atau (3) kelas secara keseluruhan memerlukan kejelasan mengenai sebuah  topik.

Keputusan-keputusan seperti itu tidak mampu membawa hasil yang terpercaya. Setidaknya saat guru bersifat lebih direktif terhadap kedua interviewer itu, maka interviu memperlihatkan bahwa pemahaman siswa terhadap materi itu lemah dan dangkal. Akan tetapi, ada kenyataan yang menunjukkan bahwa meskipun menimbulkan gangguan kognitif, sebuah keputusan untuk memberikan petunjuk terarah bisa menjadi penting pada aspek afektif agar bisa mengurangi tingkat frustrasi siswa sekaligus mendorongnya agar mau terlibat dalam proses pemecahan masalah di waktu yang akan datang.

5.      Menelusuri dan Membahas Alur Pemecahan Masalah

Bila masalah terpecahkan, instruktur akan mengulas kembali permasalahan itu bersama siswa. Strategi ini bermanfaat untuk memberikan: (1) kesempatan untuk melakukan refleksi, (2) gambaran umum/ikhtisar permasalahan, (3) kesempatan bagi guru untuk memperkenalkan pandangannya tentang pengajaran dan pembelajaran matematika, dan (4) memberikan siswa makna penyelesaian. Contoh pertanyaan yang digunakan dalam mengulas alur-alur pemecahan masalah adalah: “Bukankah hal itu yang diungkapkan gambar anda? Bagaimana cara anda memutuskan? Bagaimana anda tahu bahwa saatnya untuk melakukan reorganisasi?”

6.      Konsisten terhadap Kandungan Materi

Begitu banyak orang menganggap bahwa pengajaran konstruktivis menyiratkan sikap laissez-faire pada guru. Guru yang belajar mengajar dengan teknik ini khawatir bahwa mereka akan “terlalu banyak cerita”, sering tinggal diam, sedangkan siswa tertegung dalam kefrustrasian. Mereka keliru percaya bahwa seorang guru konstruktivis kekurangan agenda khusus pada materi yang harus dipelajari di kelas. Penggambaran seperti ini tidak berlaku pada guru konstruktivis. Ia teguh terhadap pandangan tertentu mengenai pembelajaran matematika dan memiliki banyak kesempatan untuk mendiskusikanya dengan siswa.

Selama minggu itu, guru bertekad untuk memberikan pemahaman kepada siswa bahwa orang bisa memaknai pecahan dengan menggunakan gambar, dan bahwa algoritma bilangan rasional dapat dipandang sebagai tindakan terhadap gambar itu. Jika seorang siswa memilih mendekati pemahaman masalah yang tidak menggunakan gambar, maka instruktur akan mempersilakannya menyelesaikan penelitian itu, tetapi ia kemudian akan menghubungkan solusi itu dengan makna pecahan. Ia berusaha mengerjakan hal ini tanpa merusak inisiatif siswa.

Kesimpulan

Dalam peper ini, asumsi-asumsi yang mendasari pengajaran langsung diuji dan dipertanyakan dari sudut pandang konstruktivisme. Setelah membahas konstruktivisme, ditawarkan asumsi-asumsi alternatif pada pengajaran. Lalu, dengan menggunakan rekaman pengajaran selama hari dan metode interviu klinis serta ingatan stimulan, saya menyelidi praktek seorang guru konstruktivis yang kelihatannya patut dicontoh dari berbagai sisi. Kemudian disajikan dan dibahas sebuah model pengajaran guru. Tujuan tulisan ini adalah menyarankan agar bentuk-bentuk pengajaran alternatif bisa muncul dalam bidang matematika yang asumsi dasarnya berbeda dengan pengajaran langsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Adsense Indonesia

Terbaru

Archives

Info Web

Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net