Phobia adalah kecemasan yang tidak wajar, tidak rasional dan tidak dapat dikontrol terhadap situasi atau obyek tertentu. Istilah takut oleh Kamus Bahasa Indonesia (1996:994) diartikan dengan rasa gentar atau ngeri terhadap sesuatu yang dianggap mendatangkan bencana. Rasa takut berarti sama dengan rasa taqwa, rasa hormat, gelisah atau khawatir. Istilah lain yang berkaitan dengan phobia adalah rasa ngeri yang oleh Kamus Besar Indonesia (1996:689) diartikan sama dengan rasa takut atau khawatir karena melihat sesuatu yang mengerikan atau mengalami keadaan yang membahayakan.
Setiap orang mempunyai kecemasan pada hal-hal tertentu (Agustinus, 1985:22), tetapi kecemasan baru disebut phobia sampai sedemikian tidak masuk diakal yang dapat mengganggu kehidupan biasa. Apabila seseorang tidak mempunyai rasa cemas sama sekali juga tidak baik, karena ia cendrung teledor, ceroboh dan kurang memperhitungkan kemampuan dirinya. Menurut Agustinus phobia sangat sukar dikendalikan termasuk diantaranya mathophobia, yaitu kecemasan pada waktu melakukan aktivitas yang berkaitan dengan matematika.
Mathophobia sebagian besar dialami oleh siswa pada sekolah dasar, karena pada tingkat pendidikan ini semua siswa merasa harus mengikuti proses belajar mengajar matematika dan tidak ada alasan untuk menghindarinya, masih ditambah lagi dengan berjalannya proses yang dirasa banyak siswa tidak menyenangkan, membosankan dan terlalu sulit.
Mathophobia merupakan penyakit psikologis biasa berupa kecemasan yang berlebihan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan matematika, karena ketidakmampuan siswa dalam mencerna pelajaran matematika yang diajarkan gurunya. Jadi bukanlah bentuk kebodohan atau kemalasan (Kamus Psikologi, 1996:109). Menurut Agustinus (1985:57) kecemasan merupakan penyebab utama terjadinya phobia. Lebih lanjut dikatakan bahwa antara kecemasan dan ketakutan terdapat perbedaan apabila ditinjau dari penyebabnya. Yaitu kecemasan disebabkan oleh suatu hal yang abstrak, sedangkan ketakutan disebabkan oleh sesuatu yang nyata, karena pelajaran matematika merupakan pelajaran yang abstrak maka yang banyak dibahas lebih lanjut adalah kecemasan.
Banyak orang yang merasa cemas terhadap matematika yang akhirnya mengakibatkan ketakutan dan berusaha menghindari segala hal yang berkaitan dengan matematika. Kecemasan bukan semata-mata pada pelajaran yang abstraks, tetapi dapat berubah menjadi ketakutan pada hal-hal yang kongkrit, misalnya saat masuk kelas matematika, guru matematika, buku matematika dan segala hal yang terkait dengan matematika. Pada dasarnya kecemasan terhadap matematika itu merupakan proses psikologis pada pikiran dalam mengerjakan matematika yang mengakibatkan gejala-gejala fisik.
Meluasnya gejala fisik mathophobia sebagai akibat dari gejala psikologis berupa kecemasan yang parah di kalngan siswa telah banyak menarik perhatian yang serius bagi kelangan pendidik dan ahli psikologi. Skemp (1977:102) mengungkapkan bahwa dari satu sisi, kecemasan akan menimbulkan motivasi yang bersifat positif, misalnya siswa terpacu dalam belajar agar tidak gagal dalam ujian. Namun pada sisi lain, kecemasan akan menimbulkan rasa kecewa sehingga siswa enggan berusaha.
Upaya modifikasi situasi belajar yang dapat menimbulkan rasa senang dalam belajar, karena rasa senang merupakan awal kesusksesan dalam belajar. Teori belajar Thorndike (dlam Hudojo, 1988:12), tentang hukum akibat yaitu apabila suatu hubungan yang dapat dimodifikasi dibuat antara stimulus dan respon serta diikuti kondidi peristiwa yang sesuai, hubungan yang terjadi semakin meningkat kekuatannya. Ini berarti, suatu tindakan yang diikuti oleh akibat yang menyenangkan akan cenderung diulangi, sedangkan tindakan yang diikuti akibat yang tidak menyenangkan akan cenderung tidak diulangi.
Gejala Mathophobia
Mathophobia sebagai bentuk khusus dari phobia mempunyai gejala yang sama dalam proses terjadinya pada diri seseorang. Menurut Jersild, (1965:47) phobia merupakan psikhastenia. Psikhastenia adalah gejala psikhastenia (gejala psikologi pada syaraf) yang disertai obsesi, ketegangan. Pada psikhastenia terdapat kecendrungan yang sangat kuat untuk berpikir, merasa dan berbuat sesuatu, namun semua itu pada saat yang sama akan dirasa sebagai hal yang sia-sia, tidak berguna.
Psikhastenia dapat disebakan karena pengalaman traumatis yang disertai dengan perasaan malu dan rasa bersalah yang kemudian ditekan ke dalam alam bawah sadar. Penderita berusaha menghilangkan dan melupakan kejadian tersebut, namun rangsangan asli yang menimbulkan kecemasan akan selalu muncul melalui kondisi tertentu sehingga mengaikibatkan respon kecemasan lagi. Hal ini yang menyebabkan terjadinya mathophobia.
Untuk menghilangkan mathophobia, terlebih dahulu harus menemukan sebab-sebab trauma dan membinanya kembali menuju kepribadian dan kematangan emosi yang lebih baik. Untuk itu diperlukan psikoterapi yang dapat berupa pemberian sugesti, bimbingan dan penyuluhan. Dalam khasus mathophobia yang sangat parah, gejala neurosis kecemasan (anxiety neurosis) menyertai penderita tersebut. Penderita akan terus menerus mengalami kecemasan walaupun tidak ada rangsangan spesifik.
Gejala mathophobia tentu saja dapat disembuhkan. Menurut Agustinus (1985:118) hal ini perlu bantuan psikolog (ahli yang menguasai ilmu psikis) atau psikiater ( dokter yang melengkapi ilmunya dengan pengetahuan psikologi) atau dapat juga melalui terapi diri sendiri. Terapi diri sendiri dapat dilakukan dengan membiasakan diri secara bertahap berhadapan dengan benda atau situasi yang dianggap menyebabkan rasa cemas berlebihan seorang diri.
Penelitian tim Nanyang Technological University dan Nasional Institute of Education Singapura (1992) menceritakan ciri-ciri anak yang mengalami mathophobia, yaitu pada saat pelajaran matematika wajah anak terlihat pucat pasi terutama sekitar mulut, tubuh mudah berkeringat meskipun ruangan tidak panas, gugup bila ditanya, jantung berdebar-debar, pandangan mata kosong dan pikiran menerawang karena merasa tidak paham tentang apa yang diterangkan gurunya serta berusaha menghindar apabila ada yang membicarakan tentang matematika. Hal yang menyebabkan mathophobia menurut penelitian tersebut adalah penguasaan guru yang terbatas terhadap materi yang diajarkan, teknik dan metode mengajar yang kurang kondusif serta anak didik sendiri yang secara alami memang kurang tertarik terhadap matematika.
Bisa minta referensi bukunya g???
BalasHapus