James Hiebert
UNIVERSITAS DELAWARE
Thomas P. Carpenter
UNIVERSITAS WISCONSIN
Sampai saat ini para guru mengalami kesulitan bagaimana cara pembelajaran agar peserta didik dapat memahami konsep dan prinsip yang ada dalam matematika. Sementara objek-objek matematika itu sifatnya abstrak dan untuk memecahkan permasalahan matematika menuntut penerapan konsep dan prinsip serta penalaran yang tinggi. Perlu dipikirkan suatu model pembelajaran yang berorientasi pada pemahaman.
Para konstruktivis sosial memandang bahwa matematika adalah aktivitas sosial. Matematika tidak berada diluar pemikiran manusia, dan matematika memiliki kualitas dari pikiran orang-orang yang menciptakannya. Salah satu gagasan para konstruktivis sosial dalam pembelajaran matematika adalah menerapkan model pembelajaran berdasarkan pemahaman. Pembelajaran berdasarkan pemahaman adalah suatu rancangan pembelajaran yang mengkaji bagaimana agar anak dapat memahami konsep dan prinsip-prinsip matematika dengan mempertimbangkan representasi ekternal yang mempengaruhi representasi internal. Dimana setiap individu dipandang sebagai pengolah informasi yang aktif dan setiap individu memiliki skemata awal yang berbeda-beda berkaitan dengan upaya siswa mencapai pemahaman. Kemampuan internal secara tepat perlu dipertimbangkan (Gardner, 1985), dapat diiterpretasikan bahwa pemahaman adalah suatu aspek dalam belajar dan digunakan sebagai dasar mendapat model pembelajaran dengan memperhatikan indikator pemahaman (Mayer, 1989; Ohlsson & Rees, 1988; Perkins & Simmons, 1988).
Tujuan tulisan ini memposisikan matematika sebagai aktivitas sosial, yang bertujuan menjelaskan bahwa pemahaman dapat dicapai melaui konteks nyata yang tertangkap dalam kehidupan sehari-hari dan pemahaman seperti ini tidak dilakukan dalam pembelajaran di sekolah formal. Pemahaman berdasarkan illustrasi kehidupan nyata bermanfaat bagi pendidikan matematika, hal ini menjadi diskusi terbaru dalam pembelajaran matematika.
A. REPRESENTASI DAN KEBERMAKNAAN:
SUATU KERANGKA BERPIKIR TENTANG PEMAHAMAN
Asumsi dasar dalam mengkaji pemahaman adalah bahwa pengetahuan tertanam secara internal, dan representasi internal tersebut tersusun atau terstruktur. Cara yang tepat menggambarkan pemahaman apabila representasi internal yang dilakukan secara individu adalah tersusun (terstruktur). Beberapa alternatif dijadikan indikator atau karakteristik menandai pemahaman seseorang tetapi argumen bagaimana struktur pengetahuan disajikan menunjukkan suatu persoalan utama bagi kerangka kerja mental untuk meneliti permasalahan yang berhubungan dengan pemahaman matematika.
1. Representasi Internal dan Eksternal
Dalam mengajarkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip dalam matematika, guru harus mengilustrasikannya dalam beberapa cara. Dalam penyampaiannya dimulai dari illustrasi masalah nyata yang dekat dengan kehidupan siswa, memilih kata-kata dalam percakapan yang mudah dipahami, memilih simbol-simbol, gambar-gambar, atau objek nyata (cf. Lesh, Post, dan Behr, 1987). Ide-ide dalam matematika sering disajikan dalam penyajian bentuk umum.
Setelah penyajian secara ekternal, kita perlu lakukan representasi internal yaitu memberi kesempatan pada siswa memikirkan, menelaah apa saja yang terkandung dalam konsep dan prinsip. Karena kerja mental tidaklah tampak, mendiskusikan bagaimana gagasan/informasi disusun di dalam otak didasarkan pada tingkat berpikir yang tinggi. Dugaan representase mental adalah suatu gagasan inti yang membawa bersama-sama bekerja pada pengamatan dari berbagai bidang, mencakup psikologi, ilmu pengetahuan komputer, linguistik, dan banyak hal (Gardner, 1985).
Tujuan sajian ini, bagaimana penerapan teori kognitif dikaitkan dengan masalah bagaimana belajar dan mengajar matematika. Khususnya, kita membangun secara langsung di atas dua asumsi teori pengetahuan kognitif mengenai kerja mental atau penyajian internal. Pertama, kita asumsikan beberapa keterkaitan antara representasi eksternal dan internal. Kedua, kita berasumsi bahwa gambaran internal dapat dikaitkan atau dihubungkan satu sama lain secara bermakna.
Yang menjadi persoalan, apakah ada suatu pola penyajian mental dijadikan sebagai model dalam beberapa cara dengan memanfaatkan obyek eksternal dalam berbagai permasalahan (Shepard, 1982; Shepard dan Metzler, 1971) atau apakah ada suatu format yang berlaku umum digunakan untuk menyampaikan semua informasi (Newell, 1980; Pylyshyn, 1980). Ada suatu keyakinan bahwa sifat alami representasi internal dipengaruhi dan dibatasi oleh situasi yang eksternal dalam berbagai masalah (Kosslyn dan Hatfield, 1984). Kita memberlakukan asumsi ini ke dalam situasi tertentu dengan dugaan bahwa sifat realistik matematika dalam penyajian eksternal mempengaruhi sifat realistik matematika dalam penyajian internal (Greeno, 1988A; Kaput, 1988). Bukti kebenaran dari berbagai situasi tugas menyarankan bahwa ini adalah suatu alasan kelayakan asumsi ( Gonzalez dan Kolers, 1982; Stigler, 1984).
Hal yang terpenting bahwa, ketika penyampaian materi dan permasalahan matematika, kita harus mempertimbangkan keterkaitan sajian internal dan sajian eksternal. Format penyajian eksternal mempertimbangkan (objek fisik, gambaran, lambang, dll.) dimana seorang siswa saling bereaksi membuat sebuah perbedaan penyajian antar siswa dalam menciptakan hubungan atau kuantitas secara internal. Dan sebaliknya, cara yang ditempuh oleh seorang siswa berhadapan dengan suatu penyajian eksternal mengungkapkan sesuatu, bagaimana siswa merepresentasikan informasi secara internal.
2. Kebermaknaan Penyajian
Asumsi yang kedua teori pengetahuan kognitif adalah representasi internal dapat dihubungkan. Keterkaitan antara representasi internal dengan representasi eksternal dapat dirangsang melalui penciptaan keterkaitan kedua sajian tersebut.
Kebermaknaan Eksternal. Merancang pembelajaran agar pemahaman konsep dan prinsip dalam matematika dapat dibangun oleh sibelajar melalui penyajian yang berbeda dari suatu konsep atau menggunakan ide yang saling terkait di dalam format penyajian yang sama. Hubungan antara penyajian berbeda sering didasarkan pada relasi identik ('ini mirip dengan cara berikut") dan relasi berbeda (" ini adalah berbeda dengan cara berikut").
Kebermaknaan Internal. Artinya membangun jaringan antara konsep dan prinsip-prinsip sehingga terbentuk skemata baru yang saling terkait dengan ukuran yang besar. Kuatnya keterkaitan antar konsep-konsep tidak serta merta terbentuk tetapi secara berulang-ulang menciptakan keterkaitan antar konsep maka skemata itu akan terbentuk. Mungkin pembentukan pengetahuan tersusun secara hirarki, vertikal, atau mungkin tersusun secara horizontal. Bila jaringan tersusun secara hirarki, maka konsep-konsep yang lebih inklusif akan memayungi konsep yang kurang inklusif.
Di dalam proses pembentukan selanjutnya, suatu jaringan pengetahuan (skemata) mungkin tersusun lebih cepat dan terarah. Subjaringan dapat diartikan sebagai gambaran bagian rangkaian informasi yang terwakili atau bagaikan pohon skemata, dan menyusup diantara jaringan dimana setiap hubungan bagian-bagiannya dapat dijelaskan. Susunan (nama) rangkaian mungkin sangat sederhana, menirukan rantai linear, atau jaringan-jaringan mungkin sangat kompleks, saling terkait satu dengan yang lain pada bagian-bagiannya.
Pembentukan jaringan secara terus menerus menjadi terurut dan tampak bagaikan web yang agak luas pada struktur pengetahuan dan terbatas pada pemaknaan konsep (Chi, 1978; Geeslin dan Shavelson, 1975; Greeno, 1978; Leinhardt dan Smith, 1985; Qullian, 1968).
3. Kegunaan Framework
Apakah pemahaman dapat secara penuh dikaitkan dengan struktur pengetahuan internal. Melalui framework dapat digambarkan bahwa keterkaitan antara konsep-konsep dan prinsip-prinsi yang dilakukan secara terus-menerus dapat mencapai pemahaman. Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, bagaimana menjembatani masalah teori kognitif dan masalah penerapan teori dalam pembelajaran praktis. Kedua, Menciptakan suatu kerangka kerja yang terpadu untuk menghubungkan berbagai masalah pembelajaran matematika, yang dialami saat ini dan permasalahan yang akan datang.
B. PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERORIENTASI PEMAHAMAN
1. Pengertian Pemahaman
Pemahaman dikaitkan dengan kecocokan dan susunan informasi. Tingkat pemahaman ditentukan oleh banyaknya jaringan informasi yang dimiliki dan kuatnya hubungan antar subjaringan. Suatu ide (konsep), prosedur, atau fakta dipahami secara menyeluruh jika objek-objek matematika tersebut dihubungkan ke jaringan yang ada dengan lebih kuat atau lebih banyak keterkaitannya. Pemahaman konsep dalam matematika adalah kuatnya keterkaitan antara informasi yang terkandung pada konsep yang dipahami dengan skemata yang telah dimiliki sebelumnya.
Ada beberapa jenis hubungan dalam membangun dan menciptakan jaringan mental. Jenis-jenis hubungan yang baik mengisyaratkan pemberian label atau simbol untuk jaringan; jenis pertama, hubungan didasarkan pada persamaan dan perbedaan dan jenis kedua adalah didasarkan pada proses internalisasi.
Jenis hubungan didasarkan persamaan dan perbedaan diciptakan dengan penyajian eksternal berbeda bentuk dan di dalam format yang sama. Sebagai contoh membangun hubungan antara bentuk gambar berbeda, mempertimbangkan aktivitas para siswa dengan blok dasar 10, dan standard penulisan notasi untuk bilangan persepuluhan. Pelabelan dapat dilakukan dengan baik antara blok ukuran tertentu dan posisi tertentu diikuti notasinya. Hubungan selanjutnya dapat diciptakan antara ukuran relatif blok dan nilai relatip posisi blok tersebut. Pembuatan hubungan seperti itu secara eksplisit bagi para siswa adalah dasar yang dapat digunakan untuk mengajar penambahan dan pengurangan bilangan dengan digit yang lebih besar (Bel, Fuson, dan Lesh, 1976; Merseth, 1978; Resnick, 1982).
Suatu hal yang harus dijelaskan bahwa tujuan pengajaran penyajian keterhubungan kuantitas antara blok dasar sepuluh dan menulis simbol bukanlah agar para siswa untuk mengkristalisasi hubungan antara blok tertentu dan posisi tertentu. Melainkan, agar para siswa membangun jembatan dari pengetahuan yang disepakati bersama dengan blok (pengelompokan oleh 10, mengkombinasikan seperti blok, dan seterusnya) lewat notasi simbol yang diberikan. Suatu saat nilai relatip angka yang diberikan pada blok menjadi tak perlu.
Kita juga harus menjelaskan bahwa membuat hubungan antara blok dasar sepuluh dan lambang yang ditulis adalah hal yang mudah atau para siswa secara langsung untuk mengkonstruk (lihat Schoenfeld, 1986). Hanya dengan memikirkan dan membicarakan tentang persamaan dan perbedaan antara lambang dan blok yang diwakili oleh lambing, para siswa dapat mengkonstruksi hubungan bilangan persepuluhan dengan yang mewakilinya. Nesher (1989) menggunakan analisis teoritis Cuisenaire, menggunakan. ketersediaan asosiasi panjang dan warna balok. Walaupun Nesher memaparkan argumentasinya didalam suatu penjabaran yang sedikit berbeda dibanding yang kita lakukan, prinsip-prinsip yang bersifat teori sama dengan yang biasa diterapkan.
Persamaan dan perbedaan bentuk presentasi yang berbeda dapat dijadikan dasar mengkonstruk hubungan yang muncul kembali secara berulang-ulang sepanjang usaha siswa di dalam belajar matematika. Hubungan berdasarkan pada persamaan dan perbedaan dapat juga dikonstru di dalam suatu format penyajian. Algoritma baku biasanya diajar untuk masing-masing operasi, tetapi ada juga banyak alternatif memeriksa prosedur yang dapat digunakan. Semua prosedur ini terkait dalam beberapa cara. Sebagai contoh, algoritma pembagian yang baku adalah sama seperti algoritma pengurangan berganda tetapi juga berbeda dalam beberapa hal, di antaranya, penanganan dasar harus melewati perkalian. Dengan pemikiran dan membicarakan tentang persamaan dan perbedaan antara prosedur perhitungan, para siswa dapat membangun hubungan antara prosedur yang mereka lakukan. Membangun hubungan di dalam suatu format penyajian sering meningkatkan struktur dan kesesuaian jaringan.
Hubungan berdasarkan pada persamaan dan perbedaan, akan ditemukan jaringan yang menyerupai web. Ada kemungkinan bahwa macam hubungan yang ditemukan berbentuk jaringan hirarkis. Suatu contoh membangun hubungan pemasukan diambil dari pekerjaan atau, awal penambahan dan pengurangan. Hal itu cukup baik diketahui peserta didik dalam menyelesaikan permasalahan penambahan dan pengurangan menggunakan strategi menghitung yang mencerminkan struktur semantic. (Carpenter dan Moser; 1984). Riley, Greeno, dan Heller (1983), mengusulkan satu rangkaian model yang melukiskan struktur pengetahuan anak. Gambaran skemata mereka, gambaran penyajian mereka semakin meningkat kecerdasanya dalam menyelesaikan masalah. Seluruh model penyelesaian didasarkan pada skemata yang disajikan menurut tipe dasar struktur semantik yang biasanya muncul di dalam permasalahan kata. Peserta didik menginterpretasikan permasalahan kata sebagai kasus individu, masalah yang umum dalam mengetik dan strategi mereka menghitung sudah menghubungkan kepersoalan skema. Dalam posisi ini, jaringan internal anak kelihatannya seperti tersusun secara hirarkis, dengan hubungan yang utuh dan bertindak sebagai payung hubungan yang lebih spesifik
Model pembelajaran berdasarkan masalah skemata, menuntut adanya pembentukan kelompok belajar dimana peserta didik saling berinteraksi mengungkapkan pendapatnya memandang masalah yang diberikan untuk memodifikasi struktur kognitif. Peninjauan masalah skemata dalam model yang dimiliki Riley dkk (1983) menyediakan sebuah aplikasi skemata atau kerangka penjabaran struktur pengetahuan (Davis, 1984; Schan & Abelson, 1977). Karena itu skema adalah bukti abstrak tentang situasi yang spesifik.
2. Pembentukan Pemahaman
Berdasarkan definisi, pemahaman dikaitkan dengan kecocokan dan susunan informasi. Tingkat pemahaman ditentukan oleh banyaknya jaringan informasi yang dimiliki dan kuatnya hubungan antar subjaringan. Pemahaman tercipta melalui suatu proses berulang-ulang pengaitan informasi baru dengan skemata yang sudah dimiliki sebelumnya sehingga terbentuk skemata baru dalam jumlah yang lebih besar dan lebih teratur. Kuatnya jaringan skemata dan banyaknya jaringan informasi yang dimiliki berguna dalam menghadapi permasalahan yang disajikan dan dapat menghilangkan ketidak seimbangan mental.
Pertumbuhan skemata dapat terjadi melalui beberapa cara. Mungkin cara paling mudah adalah mengaitkan penyajian konsep-konsep dan prinsip dengan dunia nyata dan kebermaknaan penyajian informasi baru dengan skemata yang telah dimiliki sebelumnya. Jika mereka membentuk hubungan, prosedur menjadi bagian jaringan pengetahuan yang ada. Jaringan pengetahuan lebih diperkaya sehingga permasalahan dapat dipahami lebih muda.
Walaupun gambaran perluasan jaringan pengetahuan secara sedikit demi sedikit tetapi kumulatif pertambahannya cukup menarik dan jelas. Grafik pertumbuhan jaringan pengetahuan mengikuti pertumbuhan linier dari pemahaman adalah suatu penipuan. Bagaimanapun analisis siswa hampir mendekati tingkat pemahaman sebanyak proses penggabungan (Hiebert, Wearne & Taber, 1991; Schoenfeld Smith & Arcavi dalam Steffe dan Cobb, 1988). Pertumbuhan jaringan pengetahuan dapat dikelompokkan seperti perubahan yang bersesuaian penambahan jaringan pengetahuan. Siswa merasa tergesa-gesa membentuk pemahaman dari pada peningkatan secara monoton.
Perubahan dalam jaringan pengetahuan dapat dijelaskan dengan cara yang sama seperti bagaimana pembentukan kembali jaringan pengetahuan tersebut. Pengaturan kembali jaringan membentuk jaringan baru dan jaringan lama mungkin diidentifikasi atau dilepaskan. Pembentukan jaringan baru mungkin membentuk konfigurasi baru sehingga berdampak pada jaringan pengetahuan. Pengorganisasiannya mungkin secara lokal atau penyebaranya secara emosional melewati banyak jaringan pengetahuan yang terhubung. Pengelompokkan kembali adalah dapat secara lokal atau global dan kadang membingungkan. Pada akhirnya pembentukan kembali jaringan pengetahuan saling terhubung dan cocok.
Suatu contoh reorganisasi jaringan pengetahuan, mempertimbangkan mata pelajaran aljabar tahun pertama, para siswa yang sedang mengamati tanda suatu bilangan berubah setelah pindah dari satu sisi suatu persamaan kesisi yang lain. Jika para siswa sudah memiliki konsep tentang tanda bilangan sebelumnya mereka langsung dapat mengerjakan dan menulis jawaban secara tertulis. Sebuah konsekuensi yang nyata akibat pengaturan kembali jaringan pengetahuan (Hiebert dkk, 1991; Schoenfeld dkk, dalam Steffe & Cobb, 1988) adalah daya nalar anak dengan jaringan pengetahuan yang teratur lebih baik dari anak yang tidak mampu mengatur struktur kognitifnya. Sebab rangkaian pengetahuan anak dengan struktur konitif yang tetap mengalami ketidak seimbangan dan membatasi hubungan baru yang terbentuk.
Proses pengaturan kembali kembali jaringan pengetahuan dan penggabungan perwakilan baru terhadap keberadaan jaringan pengetahuan tergantung pada jaringan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Pengalaman yang lalu menciptakan jaringan mental dimana siswa mampu menggunakannya untuk memahami pengalaman-pengalaman baru atau informasi baru (Ausubel. 1968; Wittrock, 1974). “peserta didik secara terus menerus mencoba mengerti dan berpikir mengenai persyaratan baru dari yang sudah diketahui” (Glaser, 1984, p.100), dengan kata lain, adanya jaringan pengetahuan mempengaruhi atau menolong terbentuk jaringan pengetahuan baru.
Tingkat pengaruh skemata yang baru terbentuk akan tersebar luas. Jika siswa bekerja keras menyesuaikan struktur kognitifnya agar sesuai dengan informasi baru, maka jaringan pengetahuan membutuhkan pembentukan hubungan. Kecuali, siswa mungkin mempertunjukkan informasi baru, dengan tidak mengaitkan skemata yang ada. Secara berangsur-angsur sub-sub jaringan akan terhubung (cf, Noddings, 1985; Nolan, 1973). Skenario yang paling sesuai untuk membentuk pemahaman menyangkut penambahan struktur jaringan, proses-proses ini disesuaikan dengan skemata yang ada. Cara kerja pembentukan skemata ini yang penting diperhatikan oleh para pendidik matematika.
3. Berbagai Alternatif Untuk Presentasi di Kelas.
Pembelajaran matematika melalui pemecahan masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata siswa lebih membantu siswa memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang ada. Dengan memanfaatkan pengetahuan horizontal siswa akan tampak dengan jelas beragamnya latar belakang skemata yang dimiliki siswa (Finnema, 1972; Raphael & Wahlstrom, 1989; Sowel, 1989; Suydam & Hinggin, 1977).
Untuk mengatakan bahwa peserta didik memahami apa yang diajarkan, ketika mereka mengungkapkan pendapat atas masalah yang diberikan membentuk hubungan dengan skemata yang telah dimiliki sebelumnya. Dimungkinkan anak mengalami ketidak seimbangan, dalam hal ini guru harus membantu siswa mengubah struktur konitifnya melalui pembentukan kembali hubungan-hubungan sub-sub jaringan pengetahuan yang sesuai dengan permasalahan yang diberikan.
Dalam pemecahan masalah nyata diperlukan adanya interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa-guru-dan materi ajar. Dalam hal inilah diperoleh kemaksimalan pemahaman siswa, dimana siswa diberi kesempatan mengkomunikasikan hasil olahan pemikirannya kepada temannya. Disamping percaya diri siswa dibangun juga sosial kultur diantara siswa. Siswa-siswa saling menghargai dan lebih dewasa (Nesher, 1989).
Kadang-kadang pendekatan dunia nyata tidak efektif? Hal ini disebabkan beberapa hal, Pertama, jika siswa tidak memiliki skemata awal yang cukup untuk memandang masalah, yang terjadi adalah para peserta didik memberi pemahaman yang salah jauh dari yang diharapkan guru dan pendekatan masalah nyata manfaatnya hanya bersifat sementara. Kedua, pendekatan kontekstual mencatat dua bentuk kegiatan yang terkait dengan siswa. Pertama, penyajian eksternal berkaitan dengan ilmu matematika yang akan dipelajari; jika fakta tentang konsep yang digunakan dekat dengan matematika yang dipelajari, maka siswa lebih cepat membentuk hubungan sebenarnya. Pendekatan konteks harus dapat terjangkau dengan sedikit dukungan. Pada masalah selanjutnya, bahan-bahan nyata membutuhkan bentuk simbol yang banyak dari pada penjelmaan dasar.
Sebagai contoh ketepatan konteks, sekali lagi mempertimbangkan prinsip nilai tempat dalam sistim angka. Beberapa perbedaaan bahan-bahan yang biasanya digunakan dengan mengutamakan tingkat berpikir siswa untuk menempatkan prinsip nilai, termasuk kotak dasar -10, potongan warna dan uang. Bayangkan sebuah situasi yang bertujuan 136 benda (sapi, permen, uang logam) disatukan dengan benda yang sama 57. Jika keadaan mewakili kotak dasar 10 dengan kubus kecil berdiri untuk 1 benda mewakili satu penetapan dari 136 kubus kecil dan penetapan lain adalah 57 kubus kecil. Bagaimanpun, tanpa pengelompokkan spesial, perwakilan ini tidak memperoleh prinsip nilai tempat. Disisi lainnya, situasi dapat diwakili dengan mengambil keuntungan terbentuknya kolompok dalam bahan-bahan. Penetapan 136 benda dapat diwakili dengan 6 kubus kecil, 3 kotak panjang (puluhan) dan 1 kotak dasar ratusan. Pada kesamaanya 57 benda dapat diwakili dengan 7 kubus kecil dan 5 kotak panjang (puluhan). Sehingga pengelompokkan mewakili nilai hal paling penting; tidak ada arti cara yang tiap kotak lebih besar 10 kali dari kotak sebelumnya. Untuk semua ini, kotak-kotak mengandung konteks yang mendukung untuk penempatan prinsip nilai, ada kesamaan yang sesuai dengan bentuk-bentuk bahan dan bentuk nilai tempat dari matematika.
Saat kegiatan dikelas agar pembelajaran efektif maka masalah nyata yang diangkat bersesuaian konsep dan prinsip matematika, penggunaan bahan-bahan pembelajaran dekat dengan kondisi sosial setempat dan secara mudah diperoleh didaerah tersebut. Untuk membuat hubungan sesungguhnya, seharusnya mengutamakan ketertarikan siswa pada masalah yang diangkat untuk menciptakan hubungan representasi ekternal dan representasi internal.
Bagaimana instruksi yang dapat menolong siswa untuk memperhatikan? Hubungan sosial dikelas menyediakan kekuatan untuk menuntut siswa memperhatikan dan mengutamakan pada berbagi pengalaman (Cobb, 1990; Lampert, 1989). Penekanan bahasa mempunyai perbedaan fungsi atau tujuan (Maturana & Varela, 1980) melalui benda-benda nyata berikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan konsep dan mengungkapkan informasi yang melekat pada benda tersebut. Guru tidak boleh mengarahkan siswa memusatkan perhatian pada hal yang sama. Hal ini tidak penting karena siswa mempunyai latarbelakang yang berbeda-beda dan tujuan sering menimbulkan kesulitan untuk berbagi diskusi mengenai pendapat. Bahan-bahan nyata jangan menimbulkan arti ganda sehingga membutuhkan pembicaraan lebih lanjut untuk hal yang mungkin.
Pemusatan perhatian siswa pada hubungan tertentu adalah penting karena tidak semua hubungan sama ketertarikannya. Bahan-bahan tertentu dipilih untuk kegiatan kelas dengan asumsi bahwa fakta dekat dengan konsep dan prinsip yang akan ditemukan. Tidak ada jaminan, pikiran siswa melihat hubungan yang sama dalam bahan-bahan yang mereka kerjakan. Melalui diskusi kelas, guru dan siswa dapat berbicara mengenai hubungan yang memungkinkan, menjabarkan perhatian terhadap ketertarikan untuk menjalin hubungan. Pada kenyataannya, bahasa digunakan untuk berbicara dengan yang lainnya mengenai bahan-bahan yang mungkin penting bagi siswa dalam membentuk hubungan (Greeno, 1988b; Resnick & Omanson, 1987) Konteks sosial yang mana dari bahan-bahan yang digunakan untuk keefektifan pembelajaran (atau ketidak efektifan) dalam menolong siswa untuk mencapai pemahaman.
Penggunaan simbol harus standar dan jangan tumpang tindih sehingga membingungkan siswa. Simbol dikatakan standar symbol-simbol yang digunakan berlaku pada pembelajaran matematika yang lebih lanjut. Simbol-simbol dikatakan tidak tumpang tindih artinya makna simbol yang digunakan hanya mewakili satu pengertian saja. Misalnya, jangan ada simbol yang sama artinya dengan simbol operasi (Bebout, 1990; Carpenter, Moser & Bebout, 1988; Fuson, 1986; Rensnick, 1982; Wiarne & Hebert, 1988).
Dalam penempatan arti simbol ada dua hal yang penting, pertama, simbol-simbol secara internal dipresentasikan sebagai obyek matematik harus berubah dari perwakilan arti tertentu atau bahan tertentu menjadi sebuah identitas dari kebenaran. (Bruner, 1973; Davis, 1984; Mason, 1987). Siswa harus menyadari simbol sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh ada yang menjadi elemen / bagian dari suatu sistem yang berhubungan dengan berbagai pengoperasian dan dalam berbagai cara. Pada kenyataannya kemampuan siswa memperlakukan simbol sebagai sesuatu yang benar-benar ada, nampak dalam penggunaan bahasa metaphoris yang mereka pakai ketika menggunakan intuisi mereka dalam mengembangkan prosedur (Trafton, 1989). Kedua, yang berperan dalam proses penghubung adalah rangkaian pola dan aturan dalam sistem simbol, karena penulisan standar sistem simbol dalam matematika merupakan struktur yang cukup sulit. Sperti pola “abound” (Steen, 1988). Dengan beberapa representasi eksternal terstruktur khusus, meskipun pola tersebut tidak terelakkan ditransfer kepada siswa; siswa harus membangun hubungan yang relevan.
Interaksi sosial dalam ruang kelas ikut mempengaruhi jenis hubungan yang dibangun oleh siswa. Mendiskusikan aturan-aturan dan pola dalam sebuah penulisan sistem simbol dapat mensuport konstruksi hubungan relevan perorangan. Hal ini juga serupa dengan membangun hubungan yang memerlukan kerangka berpikir yang efektif (Hiebart, 1991; Kilpatrick, 1985). Karena penulisan simbol nampak sebagai kasus obyek matematis, adalah beralasan jika siswa harus berpikir merefleksikan secara sadar pada simbol sebagai elemen dari sebuah sistem daripada sekedar menulisnya di atas kertas berdasarkan pada aturan-aturan hafalan. Tentu saja simbol dapat dimanipulasikan tanpa suatu refleksi. Akan tetapi manipulasi tanpa refleksi tidaklah seperti menstimulasikan kontruksi hubungan yang mengarah kepada kepemahaman.
Contoh hubungan yang dibangun dalam sebuah sistem simbol nampak pada semua level matematika, meskipun hubungan tertentu meningkat lebih utama, sebagaimana matematika yang lebih maju. Sebagai contoh pada tingkat dasar, mempertimbangkan kembali pada sistem notasi bilangan keseluruhan. Sebuah bilangan seperti 3.824 biasanya dinyatakan sebagai tiga ribu delapan ratus dua puluh empat unit, dimana unit tersebut adalah satu kesatuan. Karena struktur dibangun dalam suatu notasi, maka bilangan juga menyatakan berapa kali jumlah unit dari pangkat sepuluh yang dapat dibentuk. Tiga ribu delapan ratus dua puluhan, tiga puluh delapan ratusan dan dua puluhan. Pola yang sama memperluasnya menjadi pecahan desimal. Sejumlah unit dari jenis tertentu selalu dapat ditentukan dari suatu bilangan dengan menyatakan unit dari bunga sebagai digit firal’. Hubungan tertentu dalam suatu notasi meskipun sudah jelas bagi orang dewasa, harus juga dikontruksikan oeh seorang siswa.
Contoh kedua, proses merubah pecahan biasa 8/17 menjadi pecahan desimal. Konsekuensi yang dijanjikan dari aktivitas ini adalah apakah desimal tersebut berakhir atau berulang. Mengapa rangkaian bilangan yang ada tidak berlanjut secara acak ? Petunjuk pemecahan dalam pola tersebut menjadi rumit ketika menyelesaikan pembagian panjang. Jika sisa pembagian sama dengan 0 maka pembagian ( x referentasi bilangan desimal) berakhir. Jika sisanya tidak sama dengan 0 maka harus dilanjutkan pembagian dengan menambah digit decimal dengan angka 1 sampai 16.
Contoh yang ketiga, dalam menyelesaikan 3x + 5x siswa membutuhkan prosedur. Jika siswa memahami prosedur tersebut dapat diperoleh dari hubungan dalam sistem simbol khususnya dengan menghubungkannya pada sifat dasar sistem bilangan. Jika siswa dapat menyadari bahwa sifat distributif berlaku pada pernyataan tersebut, mereka memiliki pengetahuan yang bermanfaat untuk menyelesaikan pernyataan tersebut tanpa mempelajari prosedur yang baru untuk mengkombinasikan pernyataan tersebut. Dengan menghubungkan sifat distributif membantu siswa menyadari situasi dimana sifat tersebut berlaku sehingga menghindari kesalahan tertentu sebagaimana 3x + 5y = 8xy. Perlu diingat mengenal pola dan membangun hubungan dalam sebuah sistem memerlukan sebuah perubahan dalam aktivitas dalam satu pengambilan keputusan yang tepat ke satu analisa struktur yang reflektif. Struktur dari sistem simbol adalah sumber pengertian simbol tetapi sumber tersebut menjadikan siswa dapat mengenal struktur dan mengembangkanya secara interval.
Pendapat bahwa pemahaman dapat diperoleh dengan membangun hubungan dalam sistem simbol matematis tidaklah baru. Brownell’s (1935, 1947) berpendapat bahwa pengertian yang kontras diperoleh dari hubungan matematis dengan pengertian yang diperoleh dari kehidupan yang nyata dimana matematika sering ditanamkan. Lebih lanjut Brownell’s, tidak membuat penjelasan mengenai antar hubungan dalam format representasi ekternal vs format representasi internal. Meskipun demikian, kebanyakan contoh yang digunakan Brownell’s mengilustrasikan hubungan matematis yang merupakan contoh dalam sistem penulisan simbol dan berdasarkan pada struktur sistemya.
Penulisan simbol dapat dianggap sebagai sarana intelektual dengan dua fungsi : (1) fungsi umum, meliputi catatan dari sesuatu yang telah diketahui untuk berbagi informasi dan komunikasi, dan (2) fungsi personal, meliputi pengorganisasian dan manipulasi ide. Fungsi umum biasanya memerlukan hubungan pada bentuk representasi lain dan fungsi personal ditingkatkan dengan penambahan hubungan dalam bentuk simbolis.
4. Konsekuensi Pemahaman Matematika
Dikatakan seorang siswa memahami matematika jika siswa menguasai apa saja yang dipelajari (konsep dan prinsip dan aturan-aturan) dan mampu menggunakannya untuk memecahkan masalah atau mentransfernya pada situasi baru. Dua kategori pertama tersebut merupakan pokok perhatian dan akan diujikan di sini dalam konteks representasi dan penghubungan pengetahuan.
Pemahaman adalah Generatif. Siswa harus diusahakan mengkonstruksi sendiri pengetahuan matematika. Konsep dan prinsip serta aturan-aturan dalam matematika tidak boleh diberikan dalam bentuk jadi oleh guru. Hal ini berarti siswa menciptakan sendiri representasi internal dari interaksi mereka dengan dunia nyata dan membangun sendiri jaringan representasinya. Sebuah aspek yang krusial dari proses konstruktif siswa tersebut adalah keahlian mereka dalam mencipta/ menemukan (Piaget, 1973; Resnick, 1980; Wittrock, 1974). Dalam matematika sekolah, siswa dapat mengandalkan strategi penemuan tersebut untuk memecahkan berbagai macam masalah.
Tetapi penemuan siswa tentu saja tidak serta merta mengarah kepada matematika produktif. Jika siswa bekerja dengan penulisan sistem simbol yang tak terhubung pada jaringan pengetahuan yang lebih rumit, maka penemuan mereka sering menghasilkan alogaritma yang cacat (Brown & Van-Lehn, 1982; Cauley, 1988; Hiebert & Wearne, 1985; Matz 1980). Contohnya Cauley (1988) menemukan bahwa lemahnya konsep dalam prosedur pengurangan ‘multi digit’ pada sistem tingkat tiga adalah lebih banyak membuat kesalahan tampilan, seperti pengurangan bilangan lebih kecil dari bilangan lebih besar. Namun jika penemuan siswa terhubung dengan baik, maka hasilnya dapat menjadi produktif (Behr. Wachsmuth, Post, & Lesh, 1984; Carpenter & Moser, 1984; Heid, 1988; Payne, 1976; Wearne & Hiebert, 1988).
Keistimewaan tampilan penemuan produktif adalah representasi mental secara alamiah beroperasi (Resnick, 1987a). Hal ini nampaknya beralasan, jika representasi mental diperkaya dengan menghubungkan dalam jaringan, kemudian distimulasi, diarahkan dan diawasi dengan banyak pengetahuan yang berhubungan. Di sisi lain, jika penemuan tersebut beroperasi pada representasi yang tak terhubung dengan pengetahuan yang berkaitan, maka hal tersebut menjadi cacat/rusak dan kontra produktif.
Signifikansi analisa ini adalah jika pemahaman yang dibangun pada awalnya dan proses penemuan berkelanjutan dapat mengoperasikan representasi mental dengan asosiasi yang luas. Hasil dari penemuan tersebut tetap terhubung pada jaringan pengetahuan. Selanjutnya penemuan akan menekan pada alur pemahaman siswa. Penemuan yang beroperasi di atas pemahaman dapat membangkitkan pemahaman yang baru, mempengaruhi terjadinya efek bola salju. Jika jaringan tumbuh berkembang dan menjadi lebih terstruktur, mereka akan meningkatkan potensial dalam penemuan dan mengembangkan titik potensial kontak dengan informasi baru yang dipresentasikan. Jaringan yang rumit adalah seperti terhubung dengan representasi baru dari pada suatu jaringan yang sederhana; dimana pada banyak cara dalam menghubungkan representasi baru karena kemudahannya.
Secara teoritis pembelajaran berorientasi pada pemahaman memiliki implikasi yang signifikan terhadap pertumbuhan pengetahuan matematis siswa. Jika argumen ini benar, hal ini menunjuk pentingnya membangun pemahaman siswa melalui konstruksi konsep dan prinsip melalui masalah kompleks. Ide dasarnya diletakkan pada mensuport usaha siswa dalam membangun hubungan yang ada daripada menganjurkan mereka untuk menjadi eksekutor prosedur yang tepat. Proses hipotesis ini secara kontras merupakan alternatif, sebagaimana menyimpan bagian-bagian informasi secara terpisah, mungkin saja melalui “drill” dan praktek, selanjutnya menciptakan sebuah jaringan pada beberapa titik dengan menghubungkan informasi yang disimpan sebelumnya (Nolan, 1973).
Implikasi dari pemahaman generatif adalah bahwa siswa dapat ditempatkan dalam situasi dimana mereka mampu membangun hubungan yang bermanfaat (Mayer, 1989). Pemahaman adalah dianggap lebih akurat sebagai sesuatu yang dibangkitkan oleh siswa dari pada sebagai sesuatu yang disediakan oleh guru. Proses generatif tidaklah lancar dan dapat diprediksikan (Hoebert. Et al., 1991; Schoenfeld et al., dalam proses ceetak)., akan tetapi kenyataan yang ada menegaskan bahwa siswa melakukan kerja lembur dalam membangun hubungan, menciptakan penemuan produktif dan membangun pemahamannya (Bednarz & Janvier, 1988, Carpenter & Moser, 1984; Siegler & Jenkins, 1989; Steffe & Cobb, 1988).
Pemahaman Membantu dalam Mengingat. Sejak Frederic Bartlett (1932) mempresentasikan hasil kerjanya dalam “remembering” (mengingat), maka menjadi lebih jelas bahwa ingatan adalah sebuah proses konstruktif dan rekonstruktif daripada sekedar aktifitas penyimpanan pasif. Kenyataan dari pembelajaran verbal dan komperhensif yang mempengaruhi modifikasi jaringan membawa informasi pada jalur lintasan pengetahuan seseorang (Rumelhart, 1975). Dengan demikian informsi yang direpresentasikan siswa dengan sebuah cara sesuai dengan jaringan pengetahuan yang ada. Membuat hubungan antara informasi baru dengan pengetahuan yang direpresentasikan dalam jaringan dari observasi kebiasaan yang ditulis oleh Bartlett (1932) yakni “effort after meaning”.
Satu keuntungan inklinasi dalam menciptakan hubungan antara pengetahuan yang ada dengan yang baru adalah pengetahuan yang terhubung dengan baik akan diingat dengan lebih baik dan lebih bertahan lama (Baddeley, 1976; Bruner, 1960; Hilgard, 1957). Ada dua pelajaran dalam hal ini, yaitu: pertama, jaringan pengetahuan keseluruhannya adalah kurang dibandingkan dengan sebuah informasi yang terisolasi. Kedua, penerimaan informasi meningkat jika dihubungkan dengan jaringan yang lebih besar. Hal tersebut muncul kemudian memahami alasannya akan membantu dalam mengingat. Ingatan jika dianggap sebagai sebuah proses rekonstruktif meliputi aktivitas kognitif yang sama sebagai pemahaman, membangun hubungan antara representasi pengetahuan baru dan yang sudah ada, mengasumsikan hubungan adalah tepat secara matematis, memahami dan ingatan dtingkatkan secara bersamaan.
Pemahaman Mengurangi Jumlah yang Harus Diingat. Jika sesuatu telah dipahami, maka hal tersebut direpresentasikan dengan cara yang menghubungkannya pada jaringan. Jaringan yang lebih terstruktur, bagian individual yang lebih sedikit membutuhkan penerimaan terpisah. Ingatan untuk bagian tunggal suatu jaringan yang datang bersamaan dengan ingatan untuk jaringan secara keseluruhan, akan mengurangi sejumlah hal yang harus diingat. Beberapa jaringan memiliki struktur yang sulit yang diakses dan diterapkan sebagai suatu keseluruhan atau sebagai suatu potongan tunggal. Akses pada bagian-bagian potongan tersebut berarti akses pada keseluruhan jaringan.
Pemahaman Meningkatkan Kemampuan Transferable. Jika siswa memahami konsep dan prinsip serta aturan-aturan dari apa yang dipelajari maka siswa mampu mentrasferable penguasaannya dalam memecahkan masalah. Meskipun kemampuan transfer sulit untuk ditaksir dengan tepat dan diajarkan secara efektif (Overman, 1935; Thorndike & Woodworth, 1901). Hal tersebut memberi kontribusi pada cara pandang kita tentang pembelajaran matematika (Campione, 1988; Cormier & Hagman, 1987; DeCorte, 1987; Larkin, 1989; Perkiins & Salomon, 1989; Singley & Anderson, 1989).
Satu penjelasan sistematis paling awal dalam transfer pembelajaran dijumpai dalam gambaran komponen dalam Thorndike (1914). Menurut Thorndike, derajat positif transfer dari satu tugas ke tugas yang lain adalah sebuah fungsi bilangan dari elemen yang membuat tugas ke tugas lain yang tinggi.
Thorndike telah mencoba meningkatkan konseptualisasi dari elemen biasa antar tugas. Perdebatan yang berpusat pada manakah komponen terbagi antar tugas yang lebih baik tersusun, sebagai elemen spesifik ataukah sebagai prinsip-prinsip yang lebih umum. Thorndike telah memformulasikan hipotesanya mengenai transfer spesifik (Gray & Orasnu, 1987). Secara umum kerja dalan sains kognitif menganjurkan sebuah tahapan dari penggambaran elemen biasa sebagai inheren dalam tugas eksternal pada penggambarannya sebagai representasi tugas internal.
Hasil empiris menunjukkan bahwa transfer biasanya terikat hampir spesifik dan secara kontekstual. Karenanya transfer antar tugas adalah nyata jika terdapat elemen eksternal atau internal yang spesifik dan jika berada dalam situasi konteks yang biasa. Jika gambaran situasional tugas dianggap berbeda dan jika tugas serupa hanya dalam cara yang umum, maka transfer yang ada tidaklah sama. Sebagai respon dari penemuan ini, ada kenyataan yang diperbarui bahwa transfer terjadi jika hanya pelajar memperoleh keserupaan dari tugas, selanjutnya keserupaan tersebut tergantung pada seberapa luas konteks dimana tugas tersebut muncul (Gick & Holyoak, 1987, Pea, 1987, Voss, 1987).
Lave (1988) menyarankan formulasi lengkap dari teori pembelajaran dan transfer. Menurut Lave, teori-teori yang ada tidak layak dipertahankan jika mereka beranggapan bahwa pembelajaran keterampilan kognitif dapat ditiadakan dari konteks aslinya dan ditransfer pada rentang tugas yang ada. Teori-teori harus mendalilkan situasi spesifik dan situasi tak berlanjut sebagai fundamental dan karakteristik kognisi inheren. Lave berpendapat bahwa dari pemfokusan pada suatu abstraksi, meniadakan karakter representasi internal untuk menjabarkan tindakan kognitif di dalam sebuah situasi.
Untuk memperluas anggap sebuah paradox yang membangkitkan minat hadir dalam kegiatan mempelajari literatur, khususnya dalam penelitian pembelajaran matematika. Pada satu sisi, disana nampak berada pada siswa dengan sifat “effort after meaning” (Bartlett, 1932). Fakta dari usaha tersebut sering dijumpai pada kesalahan yang mereka buat (Byers & Erlwanger, 1985). Banyak miskonsepsi nampak dihasilkan dari terlalu menyamaratakan prosedur pembelajaran sebelumnya (Matz, 1980). Banyak prosedur yang mereka pelajari meliputi memperlakukan pernyataan sebagai sesuatu yang tidak dapat disusun. Pernyataan seperti dan dapat ditulis sebagai dan . Semoga hal ini tidak mengejutkan bahwa banyak siswa juga menulis dan . Dalam pengertian kami, siswa membuat hubungan tetapi hubungan tersebut tidak tepat.
Pada sisi lain, nampak siswa sering gagal membuat hubungan. Mereka mempresentasikan informasi berbagai bagian terisolir, memecah pengetahuan mereka dan gagal mendapatkan atau menciptakan hubungan dalam situasi matematis yang bagi orang dewasa nampak sudah jelas. Kegagalan ini adalah jantung dari banyak analisa mutakhir dari pembelajaran matematika pada siswa (Davis, 1984; Hiebert, 1986; Hughes, 1986).
Sebagai contoh aktivitas matematika yang mengarah pada pembatas representasi internal, adalah pengenalan penjumlahan dan pengurangan pada tingkat primer. Kebanyakan kurikulum di US hanya menampilkan sedikit berbagai situasi masalah yang berbeda. (Stigler, Fuson, Ham dan Kim, 1986). Masalah pada tipikal pada buku pelajaran buku di US menjelaskan pernyataan 2 rangkaian atau pemisahan satu rangkaian dari yang lain dan menanyakan hasil jawabannya. Sedikit marilah menampilkan perbandingan atau penyetaraan situasi atau berbagai masalah yang tak diketahui. Bahkan memikirkan anak-anak dapat mengiterpresikan berbagai tipe problem yang ada (Carpenter & Moser, 1984). Hanya menampilkan masalah yang terbatas seperti membatasi representasi yang internal siswa mengenai penjumlahan dan pengurangan.
Contoh lain aktivitas terbatas dalam intruksi matematis telah mempengaruhi tingkat perhatian riset mengenai pembelajaran matematika pada tingkat menengah. Sebagai contoh perkalian, sering digambarkan sebagai dari penjumlahan (Fischbein, Deri, Nello & Maroni, 1985). Seperti sebuah representasi adalah tidak kuat untuk berhubungan dengan berbagai situasi yang multiplikatif. (Bell, Greer, Grimison & Mangan; Greer, pada volume ini; Nesher, 1988, Schwartz, 1988). Tentu saja memasukkan bilangan dalam suatu masalah dari bilangan keseluruhan pada pecahan menciptakan situasi dimana siswa tidak mampu mengatasinya dengan penjumlahan berulang dari suatu perkalain. Dengan berbagai situasi masalah yang dihadapi siswa, akan nampak bahwa struktur dapat menghasilkan interpretasi perkalain yang rumit (Nesher, 1988) sama halnya pecahan yang sering dikenalakan hanya melalui model visual yang menunjukkan daerah-daerah yang terbagi representasi internal pada siswa dibangun dari rangkaian aktivitas yang terbatas yang tidak kuat untuk berhubungan dengan rentangan situasi pecahan yang luar. (Behr, Herl Post & Lesh, volume ini; Kieren, 1988, Lesh, Post & Behr, 1988; Ohlsson, 1988).
Potensial siswa yang membangun representasi yang terbatas diperburuk oleh kenyataan bahwa di sekolah, masalah yang sering muncul mencetak simbol pada halaman teks soal atau lembar kerja. Masalah tersebut mendorong siswa untuk berfikir mengutamakan simbol. Representasi intenal adalah dibentuk untuk penulisan simbol dan memanipulasi simbol.
Konsep pencarian hubungan oleh siswa dengan segala keterbatasan adalah analog dengan deskripsi awal pada penemuan yang menggunakan sumber daya yang dilemahkan (Resnick, 1987a). Hipotesis bahwa kendala situasi kealamian dari refresentasi internal dibahas disini sebab kami yakin fenomena ini mempunyai kaitan langsung terhadap isu pemahaman dan transfer. Situasi-situasi permasalahan berpengaruh terhadap cara dimana refresentasi internal dibentuk dan dikonstruk. Pada gilirannya, struktur jaringan internal pengetahuan didefinisikan sebagai potensial untuk transfer. Pemahaman terjadi jika lebih banyak koneksi dalam dan antar jaringan, menyiratkan lebih sedikit betasan-batasan dan membiarkan pencarian tersebut untuk kesamaan antara tugas dalam domain pengetahuan yang lebih luas. Pengenalaan kesamaan dan perbedaan antar tugas menambah kemungkinan strategi mentransfer yang dipergunakan pada suatu tugas terkait dengan tugas lainnya.
Jika analisis kami benar dan situasi masalah membantu menempatkan batasan pada refresentasi internal, maka lingkungan belajar dapat didesain untuk memperluas batas dari keterbatasan ini. Beberapa saran dalam mendesain lingkungan disebutkan disini kemudian dielaborasi. Pertama, situasi permasalahan dapat berupa dimensi kritis yang panjang dan bervariasi atau pengikatan yang didorong dengan ide pokok yang mempromosikan koneksi-koneksi yang kemudian dari pada membatasinya (Case & Sandieson, 1988; Kieren, 1988; Vergnaud, 1988). Kedua, konstruksi koneksi-koneksi antara bentuk-bentuk yang berbeda pada refresentasi eksternal dapat didorong (Hiebert & Lindquist, 1990). Ketiga, diskusi kelas dan interaksi sosial yang difokuskan pada hubungan-hubungan matematika dapat dipromosikan mendukung pengenalan koneksi-koneksi, lebih rinci pada betasan-batasan, dan pengenalan pada jaringan-jaringan internal (Lampert, 1986, 1989).
Pemahaman mempengaruhi kepercayaan. Pemahaman menghasilkan barisan afektif yang baik. Kepercayaan diri siswa tentang matematika berpengaruh pada perkembangan pemahaman dalam hal penting dan sulit dipisahkan (Schoenfeld, 19850. Juga, masuk akal bahwa proses pembentukan pemahaman berpengaruh pada kepercayaan diri siswa tentang matematika.
Sebagai jembatan antara proses kognisi pada pemahaman dengan proses afektif terletak pada pembentukan kepercayaan saat aktivitas kelas. Doyle (1983, 1988) menjelaskan bahwa siswa bekerja menentukan bagaimana mereka berfikir tentang suatu domain utama dan apa yang mereka yakini tentang materi pelajaran sesungguhnya. Bekerja didefinisikan sebagai penyelesaian tugas-tugas secara lengkap dan proses kognisi mereka bekerja. Sebab, siswa-siswa di kelas matematika sering ditugasi untuk merekam prosedur dan hukum-hukum manipulasi simbol sebagai lembaran informasi individu (Burns & Last, 1988; Porter, 1989; Stodolsky, 1988). Tidak mengherankan bahwa beberapa siswa berkeyakinan bahwa matematika sebenarnya mata pelajaran dengan aturan-aturan yang telah disepakati (National Assessment of Educational Progress, 1983), dan simbol-simbol dan hukum-hukum yang dikoneksikan dengan apa yang mereka ketahui tentang matematika (Carpenter, Hiebert, & Moser, 1983; Carraher & Schliemann, 1985; Davis, 1984; Hiebert & Warne, 1986; Schoenfeld, 1985). Siswa menyakini bahwa matematika adalah badan yang utuh pada pengetahuan, informasi itu diperoleh di satu setting dapat terkoneksi dengan indormasi yang diperoleh dalam setting lain, dan ada konsistensi dalam sistem refresentasi dan korespondensi prediksi antar sistem refresentasi. Keyakinan yang muncul pada gilirannya pertumbuhan lebih lanjut pada pengetahuan matematika. Akan tetapi, program pembelajaran yang mendorong siswa untuk membangun koneksi-koneksi pada sebuah periode yang lebih luas, dan data empirik yang mengindikasikan keterkaitan antara proses koneksi kognitif dan kepercayaan produktif tentang matematika bisa jadi mungkin terjadi (Nicholls, Cobb, Wood, Yackel & Patashnick, 1990; Schoenfeld, 1985).
5. Isu-Isu Terdahulu dan Sekarang yang Terkait Dengan Pemahaman
Ide-ide yang refresentatif tentang kuantititas matematika dan hubungannya secara eksternal dan internal serta refresentasi keterhubungan untuk membentuk keterhubungan internal sangat berguna, sebab hal tersebut menyediakan suatu perspektif umum yang mempertimbangkan isu-isu lama diberlakukan secara terpisah. Hal ini memberikan kesempatan untuk mengenal keterhubungan yang tidak biasanya seperti sebelumnya dan juga untuk melihat sesuatu dengan jalan lain.
Pengetahuan konseptual dan prosedural. Salah satu hal dalam pembelajaran matematika adalah masalah pengetahuan konseptual dan prosedural atau pada masalah pemahaman dan skill (keterampilan) (Brownell, 1935; Bruner, 1960; Gagne, 1977; McLellan & Dewey, 1895; Thorndike, 1922). Langkah pertama dalam memahami bagaimana pengetahuan proseduran dan konseptual memberikan konstribusi pada keahlian matematika adalah untuk menyetujui bahwa pertanyaan yang bagaimana pada pengetahuan yang paling penting adalah pertanyaan keliru untuk dijawab. Kedua jenis pengetahuan tersebut adalah rumit. Pertanyaan yang lebih baik untuk dijawab adalah bagaimana pengetahuan konseptual dan prosedural berhubungan (saling terkait) (Glaser, 1979).
Langkah kedua, adalah mendefinisikan pengetahuan konseptual dan prosedural secara tepat, cukup untuk mengijinkan gambaran-gambaran secara khusus relasi antar keduanya. Definisi pengetahuan konseptual mengidentifikasi pengetahuan yang dipahami. Pengetahuan konseptual disamakan dengan menghubungan jaringan. Pengetahuan konseptual adalah pengetahuan yang kaya dengan hubungan-hubungan (Hiebert &Lefevre, 1986). Unit pengetahuan konseptual tidak disimpan sebagai selembar informasi terisolasi; dikatakan pengetahuan konseptual jika dia merupakan bagian dari sebuah jaringan. Definisi pengetahuan prosedural sebarisan dari aksi-aksi (kegiatan). Koneksi minimal yang dibutuhkan untuk membuat refresentasi internal pada prosedur adalah hubungan-hubungan antara aksi-aksi yang tergantikan didalam prosedur. Contoh prosedur adalah algoritma perhitungan standar dalam aritmetika.
Prosedur membuat tugas-tugas matematika dapat diselesaikan secara efisien. Prosedur yang telah dilakukan dan disimpan dapat dieksekusi kembali degan cepat dan dengan usaha mental yang relatif sedikit. Prosedur yang didapat dari latihan yang baik dapat menggambarkan suatu pengetahuan matematika yang sangat kuasa, sebab dia mengeksploitasi secara konsisten dan pola-pola di sistem matematika dan memberikan petunjuk bagaimana melihat suatu penyelesaian pada soal-soal rutin.
Pengetahuan konseptual juga diperlukan untuk pemahaman matematika. Pengetahuan konseptual memberikan konstribusi ke pemahaman matematika melalui keterhubungannya dengan pengetahuan prosedural. Telah diberikan kerangka kerja kita dalam bab ini, kita sarankan bahwa hubungan antara pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural tergantung pada koneksi pembelajar dalam mengkosntruk refresentasi-refresentasi mereka. Prosedur di matematika selalu tergantung pada prinsip-prinsip yang dipresentasikan secara konseptual. Dengan kata lain, semua prosedur matematika sangat potensial untuk diasosiasikan dengan jaringan informasi yang terhubung. Informasi yang mungkin masuk didalam jaringan-jaringan ini dideskripsikan dengan baik oleh dugaan Davis dan McKnight (1980) tentang macam pengetahuan yang mungkin menginformasikan prosedur siswanya. Jika pembelajaran menghubungkan prosedur-prosedur dengan didasari pengetahuan konseptual, maka prosedur menjadi bagian jaringan yang lebih luas, secara tertutup berelasi dengan pengetahuan konseptual.
Penghubung prosedur dengan pengetahuan konseptual adalah, secara terpisah, fleksibilitas (Hatano, 1988; Hiebert & Lefevre, 1986). Prosedur yang terhubung ke jaringan menguntungkan mengakses ke seluruh informasi dalam jaringan. Ketika masalah yang mendorong yang mana berbeda dari prosedur yang telah dipelajari, keterhubungan pengetahuan konseptual mungkin mendeteksi secara berguna kesamaan dan perbedaan antara masalah, dan bagian-bagiannya, menginformasikan prosedur mengenai penyesuaian yang cocok. Dengan cara ini, pengetahuan konseptual diperluas pada rentangan prosedur yang dapat diaplikasikan.
Hubungan antara pengetahuan konseptual dan prosedural berada antara tidak berhubungan sampai sebuah hubungan sehingga secara tertutup mereka menjadi sulit untuk dibedakan. Dengan memperluas jalan dimana pengetahuan konseptual dan prosedural berinteraksi dan pendeskripsian bentuk-bentuk relasi-relasi. Isu-isu ini dijelaskan lebih jauh oleh Byers dan Erlwanger (1984), Davis (1984), Gelman dan Gallistel (1978), Greeno (1983), Hatano (1988), Hiebert (1986), Ohlsson dan Rees (1988), Resnick dan Ford (1981), dan Skemp (1978).
Curah argumen secara teori mendukung pembentukan kebermaknaan pada penulisan simbol matematika dan hukum-hukum sebelum mempraktekkan hukum-hukum itu pada eksekusi yang efisien (Brownell, 1954; Brueckner, 1939; Fehr, 1955; Goldin, 1987; Hiebert, 1988; Kaput, 1987). Walaupun data empirik tidak dapat menjaga langkah dengan spekulasi teori, data yang menunjuk pada pertanyaan kelihatan konsisten dengan teori-teori bahwa argumen untuk kebermaknaan sebelum efisiensi (Brownell &Chazal, 1935; Mack, 1990; Resnick & Omanson, 1987; Wearne & Hibert, 1988). Bukti menyarankan bahwa pembelajar yang menguasai praktik dengan baik, hukum-hukum otomatis untuk manipulasi simbol disegani untuk menghubungkan hukum-hukum itu dengan refresentasi lain yang mana mungkin memberi mereka kebermaknaan. Sebagai contoh, Wearne dan Hiebert (1988) melaporkan bahwa siswa kelas 5 dan kelas 6 yang telah mempraktekkan hukum-hukum penjumlahan dan pengurangan pecahan desimal dengan membaris titik-titik desimal sebagaimana siswa kelas 4 yang tanpa pengalaman untuk memperoleh pengetahuan konseptual tentang desimal dari pembelajaran menggunakan blok basis 10 untuk menunjukkan kuantiti desimal dan aksi-aksi pada kuantitas.
Kecenderungan untuk tetap memberlakukan penggunaan prosedur satu kali mereka dengan baik berlatih, tanpa refleksi pada mereka atau mengujian lebih lanjut, telah dicatat beberapa waktu dalam domian yang bervariasi. Kuhn dan Phelps (1982) seorang siswa yang mampu menggunakan sebuah prosedur untuk menyelesaikan suatu persoalan belum tentu siswa tersebut dapat menerapkannya pada persoalan lain. Disinilah kelemahan pengetahuan prosedural. Beberapa tahun lalu, psikologi Gestalt melabeli apa yang mungkin phenomena yang terhubung functional fixedness (Dunker, 1945; Luchins, 1942; Werthheimer, 1959). Ketika pendekatan tertentu atau prosedur dipraktekkan, dia bisa menjadi tetap, membuatnya sulit untuk dipikirkan pada situasi masalah di lain hal.
Dengan tradisi ilmu kognisi, fenomena yang berhubungan ini mengenai kecenderungan prosedur yang dilaksanakan dengan baik untuk menjadi dibatasi dapat dijelaskan oleh inaccossibiltas relatif pada pengetahuan prosedural yang terkoneksi dengan benar. Anderson (1983) menyarankan bahwa pengetahuan disimpan awalnya sebagai pengetahuan deklaratif. Sebagai masalah yang akan diselesaikan, beberapa lembaran pengetahuan dikoneksikan sebagai tahapan dalam sebuah prosedur. Sebagai prosedur yang dipraktekkan berulang-ulang, lembaran pengetahuan individu menghilangkan identitasnya dan menjadi bagian prosedur yang tunggal, membuat dia sulit untuk direfleksi pada langkah-langkah individu itu. Sebagaimana hatano (1988) mencatat, menghubungkan prosedur dengan pengetahuan konseptual memerlukan prosedur-prosedur terpisah ke dalam tahapan individual dalam urutan untuk merefleksikannya pada dandanannya. Ketika menganalisis macam pengetahuan yang diperoleh dengan keahlian simpoa, Hatano (1988) mengobservasi bahwa : “proses akselerasi pada hasil berhitung cepat tetapi mengorbankan pemahaman dan konstruksi pengetahuan konseptual.
Ringkasan, Dalam pembelajaran matematika diawali menekankan pemahaman sebelum kecakapan keterampilan. Guru dapat mendisain pembelajaran untuk membantu siswa membangun refresentasi internal pada prosedur yang mana menjadi bagian jaringan konseptual yang lebih luas sebelum mendorong praktik pengulangan pada prosedur.
Matematika jalan dan matematika sekolah. Suatu transaksi yang bagus telah dihasilkan baru-baru ini dengan bukti bahwa orang yang tidak sekolah, dapat menyelesaikan masalah matematika dengan sukses dengan menggunakan strategi penemuan dan bahwa beberapa siswa sekolah menyelesaikan masalah matematika sehari-hari dengan cara yang berbeda dari apa yang mereka pelajari di sekolah (Carraher, Carraher & Schliemann, 1985, 1987; Ginsburg, 1978; Lave, 1988; Lave, Murtaugh, & de la Rocha, 1984; Saxe, 1988, 1991, Scribner, 1984). Sering, temuan-temuan ini diinterpretasikan dengan maksud bahwa kompetensi matematika yang dipertimbangkan dikembangkan di luar sekolah dan bahwa belajar di sekolah tidak berguna untuk menyelesaikan masalah nyata.
Kritik yang sering dilontarkan pada matematika sekolah adalah prosedur untuk menyelesaikan masalah dipelajari dengan cara mekanik, yaitu prosedur pembelajaran sekolah sering tidak dapat dipergunakan secara fleksibel untuk menyelesaikan persoalan lain selain apa yang telah dipelajari dan tidak tertransfer dengan baik.
Keaslian diluar proses belajar di sekolah nampak lebih sulit dideskripsikan. Suatu tanda pada matematika jalanan adalah kontekstual secara alami. Setiap tugas matematika ditempelkan dalam aslinya, setting yang familiar. Tetapi, kemampuan matematika yang dikembangkan melalui penyelesaian tugas secara langkap mungkin sisa tempelan yang secara mendalam dalam konteks. Dengan kata lain, seperti kemampuan-kemampuan yang dipelajari di sekolah, kemampuan yang dipelajari diluar sekolah mungkin dibatasi oleh faktor konteks. Data dari penelitian dari hipotesis ini dicampur. Sebagai contoh, Saxe (1991) melaporkan bahwa penjual jalanan muda Brasil mengenal dan bekerja dengan angka hanya jika mereka ditulis pada daftar yang familiar atau koin. Prosedur, dengan sendirinya, memperlihatkan keterbatasan oleh konteks yang familiar. Carraher, Schliemann, dan Carraher (1988) menemukan bahwa beberapa konstruksi mandor dan pelaut menggunakan strategi proporsi secara flesksibel untuk menyelesaikan permasalahan. Kesimpulan yang masuk akal pada hal ini bahwa awal belajar pada matematika sekolah dan matematika jalanan seperti keterbatasan konteks dan menunjukkan keterbatasan transfer (Lave, 1988; Stigler & Baranes, 1988).
Bukti untuk menunjukkan titik terang pada hubungan antara belajar di dalam dan diluar sekolah; beberapa pembelajar kelihatan membuat koneksi antara matematika di dalam dan diluar sekolah sedangkan yang lain tidak, dan keaslian koneksi yang dibuat belum jelas. Ada bukti yang kaya, lebih awal dikutip, bahwa banyak manusia gagal untuk membuat koneksi-koneksi. Tetapi, dalam beberapa kasus, matematika yang dipelajari di sekolah mendukung penggunaan yang lebih fleksibel pada strategi informal. Acioly dan Schliemann (1986) melaporkan bahwa bandar permainan lotre yang menempuh persekolahan lebih baik dalam menyelesaikan masalah termasuk menempatkan taruhan daripada bandar yang tidak pernah sekolah. Saxe (1991) menemukan bahwa, prosedur perhitungan yang dipelajari sekolah mempengaruhi kesempurnaan strategi harga yang dpergunakan oleh penjual gula-gula Brasil. Sebaliknya, beberapa bukti menyarankan strategi informal yang diperoleh diluar sekolah dapat memfasilitasi perolehan matematika sekolah formal. Saxe (1991) melaporkan bahwa penjual gula-gula diluar performansi bukan penjual pada beberapa tugas sekolah dengan aplikasi strategi perhitungan yang mereka pergunakan untuk menjual gula-gula. Bebout (1990) dan Carpenter dkk, (1988) menemukan bahwa kelas 1 dan kelas 2 di Amerika dapat membuat refresentasi simbolik pada situasi penjumlahan dan pengurangan dengan menggunakan strategi perhitungan untuk menyelesaikan penjumlahan sederhana dan pengurangan yang disimpan. Penelitian ini mengindikasikan
Matematika berguna di luar persekolahan, setting matematika informal yang direfresentasikan secara eksternal dengan pengalaman sehari-hari atau catatan-catatan, obyek-obyek fisik, atau gambar. Biasanya, matematika jalanan tidak direfresentasikan secara ekstensif dengan penulisan simbol. Secara kontras, matematika sekolah tergantung pada berat tidaknya refresentasi dengan penulisan simbol. Dalam masing-masing kasus, kompetensi berkembang dengan bentuk refresentatif secara individu, tetapi situasi permasalahan tidak mendorong pembangunan koneksi antara refresentasi yang berbeda. Pemecahan masalah adalah salah satu setting (pengaturan) yang dapat diinformasikan kemudian oleh strategi yang diperoleh di setting lain yang dipelajari pada matematika sekolah (Ginsburg, 1982).
Pengetahuan sebelumnya dan belajar saat ini. Satu observasi yang aksiomatik dalam ilmu kognisi adalah bahwa pengetahuan siswa sebelumnya berhubungan dengan apa yang akan dipelajari dan bagaimana mereka melaksanakan. Dalam prasasti (epigraph) bukunya ,1968, D. Ausubel berkata “Satu faktor yang paling penting berpengaruh terhadap belajar adalah apa yang telah siswa ketahui” Siswa menginterpreasi dan menjawab terhadap situasi baru dalam terminologi apa yang mereka ketahui. Dalam kerangka kerja kita pada pengetahuan sebagai jaringan dari refresentasi internal, kumpulan sederhana dari pengetahuan siswa dapat dibentuk melalui jumlah jaringan internal, sedangkan derajat pemahaman yang dihubungkan dengan pengetahuan dapat dibentuk melalui struktur atau yang melekat pada jaringan-jaringan tersebut.
Pemahaman itu tidak hanya tergantung kepada banyaknya pengetahuan yang dimiliki siswa tetapi juga tergantung bagaimana pengetahuan itu dikonstruk. Sebagai contoh, karena memori untuk informasi yang secara internal terstruktur baik lebih baik dari pada memori yang hilang untuk informasi yang terhubung, siswa lebih suka untuk mendapat kembali pengetahuan sebelumnya yang dimengerti dengan baik ketika mereka mempertemukan dengan yang baru. Juga, karena pemahaman bersifat generatif, kemampuan sebelumnya yang telah dimengerti adalah lebih suka untuk menghasilkan pemahaman baru dalam situasi baru; hubungan antara kemampuan yang ada sebelumnya dan materi baru lebih baik dibangun.
(Case, 1985; Piaget, 1970; Werner, 1957) mengindikasikan bahwa banyaknya dan koherensi keberadaan jaringan internal mungkin bukan merupakan faktor yang begitu penting dalam menentukan kesiapan; kendala perkembangan juga dapat dilihat untuk memaksakan batas belajar materi baru.
Teori Case (1985) berasumsi bahwa kemampuan untuk mengintegrasikan lembaran-lembaran informasi terpisah dan membangun koneksi internal adalah suatu kendala pengembangan yang rumit. Anak-anak yang lebih muda tidak dapat menghubungkan informasi-informasi sebagaimana anak-anak yang usianya lebih tua. Perkembangan memungkinkan formasi yang lebih luas, jaringan pengetahuan yang lebih terintegrasi.
Ringkasan.
Perkembangan pengetahuan matematika dapat dilihat sebagai suatu proses pembentukan refresentasi internal suatu informasi, dan pada gilirannya, keterhubungan refresentasi-refresentasi tersebut untuk membentuk jaringan yang terorganisasi. Sebuah isu yang sangat penting (krusial) pendidikan matematika adalah perolehan pengetahuan dengan pemahaman. Dengan konteks refresentasi dan hubungan pada pengetahuan, pengertian dapat dilihat sebagai proses pembuatan hubungan, atau membangun keterhubungan antar pengetahuan yang sudah direfresentasi secara internal, atau antara jaringan yang sudah ada dengan informasi baru. Jika penjelasan ini diterima, maka tidak heran jika dikatakan bahwa pemahaman secara nyata dan sangat khusus dalam pembelajaran matematika. Seperti halnya dengan argumen-argumen terdahulu tentang pemahaman, kami hanya mulai dengan membuat cocok secara utuh hukum-hukum yang berkembang dalam pengetahuan matematika.
C. Mengajar Matematika Untuk Dipahami
Pengembangan pemahaman seharusnya tujuan utama pengajaran matematika, sebuah implikasi yang jelas bagaimana siswa-guru dan permasalahan saling berinteraksi. Bagaimana seharusnya pengajaran dirancang untuk mewujudkan tujuan pembelajaran? Bagaimana pembelajaran matematika supaya prosedur-prosedur dan konsep-konsep tidak diajarkan secara terpisah atau diberikan dalam bentuk jadi (utuh), yang paling penting bagaimana mengajarkan matematika agar tercipta hubungan antara representasi ekternal dan representasi internal dan mengusahakan terjadinya hubungan di dalam sub-sub jaringan.
1. Kerangka Pengetahuan Pilihan Untuk Membentuk Hubungan
Dari beberapa analisa sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bagaimana pengetahuan dibentuk dan bagaimana pengetahuan baru terhubung dengan skemata yang telah dimiliki siswa sebelumnya.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dan orang dewasa mendapat pertimbangan pengetahuan matematika diluar sekolah dapat ditetapkan untuk memecahkan berbagai macam masalah disetiap situasi (Carpenter & Moser, 1983; Carraher dll, 1987; Ginsburg, 1982; Lave, 1988; Saxe, 1991; Scribiner, 1984). Pembelajaran matematika secara “top dawn” (dimulai dari pemecahan masalah nyata) untuk memperoleh konsep dan prinsip serta aturan-aturan matematika yang lebih spesifik dengan memanfaatkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya lebih baik dari pembelajaran “bottom up” dari yang sederhana menuju kemampuan yang lebih kompleks. (Chi, Feltovich & Glaser, 1981).
Perbeaan pembelajaran ‘bottom up” dengan pembelajaran Top Dawn” sangat nyata pada pencapaian tujuan pembelajaran matematika dan karakteristik matematika itu sendiri. Penekanan yang diberikan oleh Dewey dan Bruner (belajar penemuan menumbuhkan kompetensi) dalam satu sisi dan Ausubel dan Gane (menumbuhkan kebermaknaan apa yang dimiliki siswa dengan informasi baru yang diajarkan) disisi lain. Pembicaraan tertentu (Brown dll, 1989) yang mengungkapkan bahwa konsep-konsep dan prosedur-prosedur berhubungan dengan konteks yang disesuaikan dengan situasi. Penetapan situasi pembelajaran seharusnya disesuaikan dengan situasi masalah yang ada dan berarti bagi siswa. Mempelajari konsep dan prosedur-prosedur dalam pemecahan masalah, hal ini dianggap bahwa pengetahuan berhubungan dengan mudahnya melalui memecahkan masalah.
Konsep pemikiran yang dikatakan Vergnaud (1983, 1988) juga mempedulikan dengan situasi masalah yang mana berupa matematika abstrak. Bagaimanapun konsep ditemukan melalui analisa pembelajaran “Top Dawn” dari banyaknya masalah dan situasi yang ada serta dihubungkan dengan konsep matematika. Jadi bagaimana mengangkat masalah yang melalui pemecahannya memperoleh konsep-konsep dan aturan-aturan yang ada dalam matematika. Masalah yang diangkat harus konteks dengan kehidupan nyata siswa dan konteks dengan pengetahuan yang dimiliki siswa sebelumnya, serta bahan-bahan yang digunakan mudah diperoleh di dalam kondisi sosial siswa.
Dalam pmbelajaran Carpenter dkk (1989) menyatakan, guru membentuk pengetahuan informal siswa dengan memulai masalah siswa yang dapat terpecahkan. Siswa menghabiskan waktu menyelesaikan masalah dan memberikan kesempatan kepada siswa menyelesaikan masalah-masalah ini dengan menggunakan prosedur-prosedur penghitungan informal dan bentuk yang belum baku. Guru memilih dan mengangkat masalah-masalah sehingga siswa-siswa yang berbeda itu dapat mengatasi masalah-masalah yang menantang.
Persoalan bagaimana mereka menyelesaikan masalah. Anak-anak belajar meniru metode penyelesaian mereka dan menggabungkan cara penyelesaian mereka. Pembentukan dan strategi-strategi penghitungan yang digunakan anak-anak untuk menyelesaikan masalah yang berbeda menjadi lebih jelas didapat. Mereka mungkin dapat dapat menghubungkan strategi-strategi yang digunakan dengan masalah-masalah yang berbeda. Pertama-tama strategi informal anak-anak dipersiapkan untuk dipecahkan sesuai dengan tujuan diskusi, simbol yang diperkenalkan sebagai cara untuk mengganti pengetahuan yang sudah dimiliki oleh anak.
Salah satu implikasi perancangan pembelajaran untuk menhubungkan konsep-konsep baru dan prosedur-prosedur baru terhadap siswa yang memperoleh pengetahuan sebelumnya yang mana isi dan ruang lingkup yang diajarkan sesuai pilihan sehingga pengetahuan baru mungkin terhubung secara langsung terhadap apa yang sudah diketahui. Pengenalan simbol-simbol bahwa anak dapat menggunakan untuk mewakili masalah-masalah yang ada dengan strategi informal yang dimiliki anak-anak menyangkut penghitungan atau pembentukan tujuan fisik atau jari-iari yang menjadi pertimbangan contoh, sesuai dengan masalah dibawah ini:
Carlos mempunyai 4 dollar. Berapa banyak lagi uang yang dibutuhkan agar Carlos dapat membeli seekor anak anjing yang harganya 11 dollar?
Cara siswa beragam untuk memperoleh jawaban, ada siswa berpikir 4 tambah berapa agar diperoleh jumlahnya 11 sehingga memperoleh jawaban 7. Ada siswa menghitung 4, berhenti sejenak, kemudian menghitung 5,6,7,8,9,10,11. dengan tiap hitungan dimulai dengan 5, sehingga jari diperlebar dan memperoleh jawaban 7. Ada siswa memikirkan 11 dikurangi berapa agar hasilnya 4 dan jawabannya 7. Penelitian yang dibuat oleh Bebout (1990), Carey (1991) dan Carpenter, Moser & Bebour (1988) menunjukkan bahwa anak-anak siap belajar menulis jumlah angka yang terbuka yang secara langsung sesuai dengan penghitungan dan strategi-strategi bentuk yang mereka gunakan untuk menyelesaikan masalah. Pekerjaan ini menyarankan kalimat angka terbuka diganti dengan simbol aritmatika, membawa kematematika formal dan diikuti dengan pengetahuan tangapan-tanggapan pengoperasian angka.
Suatu pilihan pendekatan pembelajaran Top Dawn berdasarkan struktur matematika. Pada akhirnya siswa mempelajari bahwa perbedaan tambahan dan pengurangan masalah mungkin dapat menggunakan penghitungan yang sudah diketahui dari bentuk a + b = …. Atau a – b = …. Beberapa peneliti menyangkal anak seharusnya mempelajari masalah yang ada dengan memilih satu dari dua rumus pilihan; contohnya masalah di atas akan mewakili rumus angka 11 – 4 = ….. (Rathmell & Huinker, 1989, Wilson, 1967). Analisa potongan-total mempunyai kerangka kerja yang menyatu untuk dihubungkan dengan perbedaan angka tambahan dan pengurangan berdasarkan kemamuan menganalisa (Riley dkk, 1983) tidak sesuai terhadap anak-anak muda utamanya memikirkan beberapa masalah.
Analisa potongan-total ditandai mempunyai skema penyatuan potongan-total dalam semua tambahan dan pengurangan masalah. Pendekatan ini mempunyai sebuah skema yang dihubungkan dengan perbedaan masalah yang satu dengan yang lain berdasarkan tanggapan pembelajaran Top Dawn; hal ini mengefisienkan cara yang mana masalah dianalisis apakah dengan penambahan atau pengurangan. Pendekatan pembelajaran mengutamakan pencapaian secara langsung skema yang berkemampuan untuk mengatur pengetahuan dari mulai instruksi kemudian mengutamakan tujuan jangka panjang.
Ada tiga hal yang dapat dilakukan untuk menolong anak memecahkan masalah sekaligus pembentukan jaringan pengetahuan. Pertama, pendekatan diusahakan sesuai keinginan anak-anak untuk menggunakan simbol-simbol sebagai konsep-konsep dan prosedur yang anak-anak sudah persiapkan jaringan kerja dari dalam dirinya (Carraher dkk, 1987; Cobb, 1988; Ginsburg, 1982; Lave 1988; Lawler 1981) kedua pendekatan ini cenderung untuk menolong siswa memperoleh skemata yang fleksibel untuk dihubungkan dengan salah satu dengan yang lain tetapi mereka memulai dari pandangan yang sangat berbeda. Kedua, menolong siswa untuk menghubungkan pandangan pengetahuan dari matematika dengan simbol-simbol yang tertulis adalah salah satu cara untuk menolong mereka menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan sebelumnya. Faktor lain untuk menolong siswa adalah membentuk pengetahuan yang ada sebagai ruang lingkup sesuai topik yang diajarkan. Dengan memulai keberadaan pengetahuan siswa dan ada tujuan instruksi, perbedaan ruang lingkup dari pembelajaran yang berkesan. Ketiga, kita jabarkan bagaimana pengetahuan siswa sebelumnya berpengaruh pada ruang lingkup pembelajaran. Mack (1990) menemukan, bagaimanapun siswa dapat menghubungkan masalah-masalah kecil membutuhkan pengelompokkan pengetahuan yang diperoleh dalam dunia yang nyata dan dapat mengunakan pengetahuan yang diperoleh dalam dunia yang nyata dan dapat menggunakan pengetahuan ini memecahkan masalah walaupun mereka kekurangan pengetahuan formal dari konsep pengelompokkan. Siswa tingkat keenam dapat memecahkan beberapa masalah seperti dengan menghubungkan masalah terhadap situasi seperti memotong kaki papan yang panjangnya kaki. Kesamaan angka yang ada merupakan sebuah konteks dan menjadi penyatuan bentuk yang berhubungan dengan berbagai jenis yang berbeda dengan prosedur-prosedur pemecahannya. Masalah ungkapan yang ada merupakan bentuk mekanisme bagi siswa untuk menghubungkan konsep jumlah dan prosedur-preserdur terhadap pengetahuan mereka dari semua konsep dan prosedur-prosedur. Salah satu jenis masalah anak-anak yang dapat terpecahkan sebelum diperoleh pengetahuan yang jelas dari algoritma dengan pengelompokan kembali, pada umumnya disesuaikan sebagai salah satu topik yang sulit (Karleke, 1986; Kouba, Brown, Carpenter, Lindquist, Silver & Swafford, 1988).
Sebaliknya, analisis dari bottom up mungkin menyarankan hubungan yang ada dengan pandangan-pandangan yang diperluas sesuai jumlah rasional. Kelengkapan konsep jumlah rasional menyangkut perluasan jumlah pengurangan termasuk mengukur, rasio, jumlah dan pengoperasian yang bermacam-macam (Kierren, 1988), Analisis-analisis ini secara spesifik menjelaskan hubungan yang memusatkan pada instruksi. Satu hal yang berbahaya terjadinya salah konsep akibat instruksi-intruksi guru. Mengusahakan bentuk pengetahuan siswa terhadap konsep informal siswa mungkin terbatas. Situasi masalah yang mengutamakan hal yang paling berarti bagi siswa yang mungkin tidak cukup, konteks yang berkembang untuk mengembangkan pengertian yang penuh dari rumus.
Bahayanya pembelajaran top dawn adalah pembelajaran tidak dikaitkan dengan pengetahuan yang dimiliki siswa. Siswa sering mengembangkan sistem pemisahan aritmetika dari sebuah sistem informal yang mereka gunakan untuk memecahkan masalah yang sangat berarti bagi mereka dan aritmetika sekolah terdiri dari prosedur-prosedur yang menetapkan simbol-simbol atau soal cerita yang penting diberikan disekolah yang dioperasikan secara mandiri setiap siswa (Carraher dkk, 1987; Cobb 1988; Ginsburg, 1982). Perubahan kurikulum dari tahun 1960 yang menetapkan struktur untuk mengembangkan pengertian tetapi analisa top dawn tidak membuat hubungan dengan apa yang sudah diketahui siswa; siswa-siswa ini mempunyai kesulitan menghubungkan dengan struktur matematika formal.
Tidak ada perjanjian antara dua pendekatan dalam tujuan utama dari pembelajaran. Bagaimanapun pendekatan top dawn dijabarkan oleh Mack (1990) mungkin lebih fleksibel dalam memecahkan suatu masalah dan bagai mana hubungan yang mungkin dibentuk dalam tahap-tahap sebelumnya dari instruksi. Siswa diperbolehkan untuk memilih konteks dan mengartikan masalah yang membuat mereka mengerti dan mereka memberikan beberapa jangkauan bagaimana mereka membentuk hubungan. Pendekatan top dawn dijabarkan oleh Behr dkk (dalam catatan) lebih mengutamakan pemahaman siswa untuk mengungkapkan parameter kritik dari konsep untuk tiap tahap pembelajaran.
Kebanyakan peneliti pada matematika informal menyangkut konsep aritmetika dan prosedur-prosedur serta penelitian instruksi mengutamakan pada siswa yang mempunyai pengetahuan sebelumnya serta berdampak pada penetapannya. Pertanyaan muncul, apakah pendekatan ini membatasi konsep dasar matematika dan prosedur-prosedurnya. Hal ini mungkin disangkal bahwa struktur topik matematika yang maju diperoleh melalui analisis formal dan siswa mempunyai beberapa batasan dasar ilmu pengetahuan yang sulit untuk dibentuk dengan konsep matematika yang lebih rumit pada ilmu pengetahuan.
Kebanyakan peneliti melihat dampak pembelajaran terhadap ilmu pengetahuan sebelumnya untuk matematika yang lebih maju seperti aljabar yang telah menganalisis bagaimana ilmu pengetahuan sebelumnya dari pengarahan aritmetik untuk menghindari salah konsep pada saat penjabaran terhadap topik yang lebih maju . (Hart, 1988; Matz, 1980), bagaimanapun, pekerjaan yang dilakukan Davis (1964) sebagai bagian dari proyek madison yang mengungkapkan bagaimana angka prinsip-prinsip kemajuan aljabar yang mungkin dapat dikembangkan dengan memperluas pengetahuan siswa tentang aritmetik.
Teori yang paling sesuai dengan pekerjaan Van Hiele (1986; Clements & Batista , volume ini; Fuys, Geddes & Tischler, 1988) dan Case (1985) berdasarkan anggapan-anggapan yang dipelajari, untuk membuat topik yang lebih maju dalam pembentukan pengetahuan siswa sebelumnya dengan cara pengetahuan yang lebih luas disesuaikan dengan kemampuan mengingat dan membentuk hubungan yang lebih kompleks.
2. Membuat Hubungan Yang Spesipik
Dimulai dengan anggapan bahwa pembelajaran seharusnya menolong siswa membentuk hubungan, lebih dari pemecahan masalah yang mengutamakan pada pemberian materi ajar. Penekanan utama adalah seberapa spesipik pembelajaran diarahkan untuk menciptakan jaringan pengetahuan. Dua pertanyaan membutuhkan jawaban apakah hubungan seharusnya dibuat untuk mengelompokkan siswa dan apakah hubungan yang spesifik yang seharusnya diciptakan. Pada pertanyaan pertama ada konsensus umum yang menghubungkan antara pendapat matematika yang seharusnya dibicarakan dan siswa seharusnya dibelajarkan. Pada pertanyaan pertama ada konsensus umum yang menghubungkan antara pendapat matematika yang seharusnya dibicarakan dan siswa seharusnya diberi motivasi/semangat untuk mencapai pemahaman. Hal ini tidak menetapkan seorang guru harus mempunyai hubungan yang sfesifik dalam pikiran; hubungan dapat diperluas oleh siswa. Beberapa strategi informal diupayakan menolong siswa menjadi lebih peduli terhadap pembentukan pengetahuan informal (Carpenter dkk, 1989; Lambert, 1986; Mack, 1990). Kerja sama kelompok dan diskusi kelas mungkin memberi kesempaan siswa untuk menjabarkan dan menjelaskan hubungan yang mereka bentuk.
Melalui kerja kelompok dapat mengembangkan pemahaman siswa tentang apa yang dipelajari (Good, Mulryan & McCaslin, volume ini; Slavin, 1989; Webb, 1989). Melalui tugas-tugas yang diberikan dalam kelompok, pencapaian pemahaman siswa dapat terwujud. Hal ini tidak jelas faktor-faktor apa yang menghitung pembelajaran. Melalui belajar kelompok siswa diberi kesempatan menciptakan hubungan, ungkapan-ungkapan hasil olahan informasi yang spesifik, dari interaksi antar siswa menghasilkan instruksional yang mungkin menolong siswa memahami hubungan program instruksi yang spesifik dan hasil belajar yang spesifik.
Perjanjian agak berkurang pada saat timbul pertanyaan kedua; dapatkah kita mengidentifikasi hubungan spesifik sebelumnya yang seharusnya sesuai dengan tujuan instruksional? Dua anggapan yang kita garis bawahi berusaha untuk menemukan hubungan yang sfesifik seperti pemusatan pada instrusional; (a) hubungan yang seharusnya dibuat secara sfesifik untuk mengerti tujuan individu dan (b) hubungan yang sfesifik dijabarkan oleh siswa. Pada awalnya kita membicarakan beberapa konsep mengenai bagaimana pengetahuan mungkin dihubungkan dengan faktor dari dalam. Salah satunya berhubungan dengan struktur hirarki, kesamaan lain adalah jaringan. Sampai saat ini hubungan hirarki, memungkinkan untuk mengidentifikasi pembentukan kunci memunculkan struktur konsep yang berhubungan satu dengan yang lain. Perhatian siswa dapat dijabarkan terhadap hubungan antara pembentukan kunci dan masalah-masalah spesial atau secara instant.
Hal ini merupakan masalah yang lebih rumit karena menganggap hubungan yang diajarkan secara spesifik. Bahaya yang berpotensi dalam hubungan mengajar secara spesifik, informasi yang dibutuhkan untuk membuat hubungan spesifik akan diperluas sebagai salah satu potongan pengetahuan yang terisolasi dari pada mendukung pembentukan hubungan yang berguna. Contohnya, instruksi dalam menempatkan nilai tempat sering termasuk sistem-sistem yang dijabarkan (500 + 70 + 6 mewakili 576). Salah satu sikap rasional untuk pendekatan ini adalah perluasan simbol untuk membantu menyediakan hubungan antara angka dan fisik kotak. pengertian perluasan simbol-simbol, bagaimanapun membutuhkan pengetahuan yang sama untuk mengerti standar angka (Fuson, Bab 12, volume ini) dan simbol yang diperluas termasuk jumlah kelengkapan tambahan..
Hal ini memungkinkan untuk menyangkal bahwa siswa dapat memperoleh manfaat dari pengarahan yang spesifik saat mereka membentuk hubungan. Jika siswa tidak diberikan petunjuk pengarahan yang cukup, mereka mungkin mengutamakan hubungan dari luar yang tidak berhubungan dengan bentuk keahlian dan pemahaman konsep khusus. Seperti dicatat sebelumnya, siswa sering membentuk hubungan yang dominan serta hubungan yang tidak sesuai atau tidak berguna.
Hubungan masalah-masalah spesifik dengan pengajaran yang spesifik bukanlah hal baru. (Ausubel, 1961; Bruner, 1961; Schulman, 1970; Shulman & Keislar, 1966). Anggapan dasar Ausubel adalah pengajaran seharusnya dimulai dari mengelompokkan pendapat siswa yang sudah paham, padahal Bruner menyangkal bahwa penemuan hubungan untuk mengkritik sesuai dengan pemecahan masalah, siswa sendiri membentuk hubungan yang wajar sehingga masalah terpecahkan.
Pemusatan diganti dengan program instruksional berdasarkan tingkat penguasaan siswa untuk mempelajari matematika. Agaknya perbedaan program-program dari pengajaran dan penelitian yang sering berdasar pada anggapan-anggapan yang berbeda mengenai mengspesifikasi hubungan untuk siswa. Suatu contoh hubungan yang spesifik untuk siswa dengan menetapkan pekerjaan serta seberapa cocok pengetahuan fisik terhubung. Larkin, McDermott, dan Simon (1980) menemukan, pengetahuan fisik terorganisasi sesuai dengan ilmu fisik mereka berdasar pada prinsip-prinsip yang lebih tinggi sehingga terbentuk standar fisik dari buku text.
Hal ini penting untuk dicatat bahwa pertanyaan apakah pengajaran yang dirancang menciptakan hubungan spesifikasi untuk tidak mengidentifikasi perbedaan antara pembentukan hubungan dari bottom up atau top dawn. Perencanaan pengajaran dengan mengaitkan pengetahuan siswa sebelumnya mungkin juga dibuat untuk menolong hubungan yang spesifik. Suatu cara untuk membuat hubungan spesifik antara pengetahuan informal dan beberapa simbol serta prosedur matematika, guru memperbolehkan dan menyarankan hubungan secara langsung terhadap beberapa strategi yang digunakan anak untuk memecahkan masalah. Penggunaan ketidakabsahan dan keabsahan jumlah angka untuk mewakili masalah penjumlahan dan masalah pengurangan mengungkapkan pendekatan ini (Bebout, 1990; Carey, 1991; Carpenter, Moser & Bebout, 1988).
Satu alternatif yang mengkaitkan simbol-simbol yang ada secara langsung bagi siswa dengan pengetahuan informal diperluas secara fisik sehingga hubungan penting dengan simbol-simbol abstrak dan prosedur-prosedur yang bertujuan instruksional. Seperti contoh pada gambar 4.1 dalam penggunaan kotak, perubahan dengan kotak-kotak itu diarahkan untuk melangkah pada simbol alogaritma. Proses ini merupakan suatu alasan untuk membuat peta arah, yang sering disesuaikan untuk mengajar alogaritma (Bell dkk, 1972; Merseth, 1978) dan dijabarkan dalam penelitian Fuson (1986) dan (Resnick ,1982; Resnick & Omanson, 1987). Pendekatan ini, secara kritis merupakan bahan-bahan yang dibuat sehingga manipulasi yang penting untuk memecahkan masalah sesuai tahap pembelajaran algoritma.
Sebuah metode pilihan untuk menolong siswa menghubungkan simbol alogaritma engan kegiatan kotak-10 yang ditujukan oleh Wearne dan Hiebert(1988; Hiebert, 1988). Mereka memisahkan hubungan simbol-simbol yang sesuai dan pengembangan serta penjabaran prosedur-prosedur manipulasi simbol. Mereka mendukung siswa untuk menetapkan arti pembentukan simbol yang berhubungan kemudian mengarahkan siswa untuk mengembangkan prosedur-prosedur untuk memanipulasi simbol dengan menggunakan arti simbol-simbol. Alogaritma yang lebih rumit kemudian dihasilkan dengan menjabarkan prosedur-prosedur sebelumnya. Dengan kata lain, prosedur-prosedur alogaritma dipelajari dengan menghubungkan arti simbol-simbol dan ditetapkan simbol-simbol yang lebih sederhana dari pada menghubungkan secara langsung fisik.
Pendekatan yang digunakan Wearne dan Hiebert membutuhkan arti simbol-simbol dan prosedur-prosedur utama ditetapkan tingkatan yang mendukung pengembangan prosedur-prosedur lebih rumit. Sebaliknya untuk beberapa penelitian arahan pengajaran berdasarkan arti simbol yang dipelajari pertama secara hati-hati hubungan simbol-simbol dan komunikasi dijalin sesuai dengan arahan (Fuson, 1988, 1990, Fuson & Briars, 1990).
Sejumlah pertanyaan mendasar membutuhkan penyesuaian dengan pendekatan-pendekatan yang berbeda. Contoh, bentuk hubungan siswa sebagai hasil dari pengarahan pengajaran yang bagaimana menimbulkan batasan terhadap hubungan yang spesifik selama pengajaran? Dapatkah hubungan diterapkan secara fleksibel atau mengerjakan prosedur-prosedur yang sederhana sesuai tahapan? seberapa siap siswa dapat beradaptasi dengan pengetahuannya serta masalah yang diajukan? dapatkah mereka menjabarkan prosedur-prosedur simbol yang telah mereka pelajari terhadap angka yang lebih besar yang mana secara fisik tidak mewakili? bagaimana keyakinan siswa mengenai prosedur-prosedur secara simbolis dan kemampuan mereka untuk mengerti?
Perbedaan-perbedaan bahan-bahan yang digunakan untuk mengembangkan pengertian tidak hanya bahan-bahan fisik alam. Ada juga perbedaan penting bagaimana bahan-bahan digunakan untuk membuat hubungan yang spesifik. Seperti dicatat sebelumnya, dampak-dampak penggunaan bahan-bahan agar siswa memahami sebanyak dengan konteks yang digunakan dengan cara siswa berhubungan dengan bahan yang sudah dimiliki. Kita menyangkal sebuah variabel penting untuk mempertimbangkan kespesifikan yang dijabarkan untuk siswa antara bentuk-bentuk bahan-bahan dan simbol yang mewakili.
Salah konsep terjadi disebabkan kurangnya pemahaman, kurangnya pemahaman disebabkan lemahnya jumlah skema yang ada dan rendahnya keterkaitan antara jaringan pengetahuan. Lemahnya jaringan pengetahuan disebabkan lemahnya kebermaknaan representasi ekternal dengan representasi internal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar