Pada masa pemerintahan Hindia Belanda berkuasa di Indonesia, sejumlah bangunan gedung pemerintahan didirikan di sekitar kawasan yang kini disebut sebagai Taman Pejambon dan Lapangan Banteng di Jakarta. Gedung-gedung tersebut ialah Dewan Perwakilan Rakyat (Volksraad) di Jalan Pejambon 6, Dewan Hindia Belanda di Pejambon 2 (Raad van Indie, sekarang menjadi bagian dari gedung Departemen Luar Negeri), Gereja Katolik Roma di sisi timur Lapangan Banteng, dan Gedung Keuangan. Susunan letak dari keempat gedung tersebut seolah-olah berada dalam sebuah lingkaran yang besar.
Di sisi timur terletak gedung Pengadilan Tinggi, Benteng Pangeran Frederick (bekas benteng bawah tanah pasukan Belanda), Gereja Immanuel dan Stasiun Kereta Api Gambir yang terletak berhadapan di Jalan Merdeka Timur. Bangunan Benteng Pangeran Frederick telah dipugar dan di bekas lahannya tersebut saat ini telah didirikan Masjid Istiqlal yang megah.
Gedung Volksraad saat ini dikenal sebagai Gedung Pancasila dan sekarang menjadi bagian dari kompleks bangunan Gedung Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
Tidak ada catatan resmi mengenai kapan tepatnya Gedung Pancasila tersebut mulai dibangun. Beberapa literatur menunjukkan bahwa pembangunannya dilaksanakan kira-kira pada tahun 1830. Gedung tersebut awalnya dibangun sebagai rumah kediaman Panglima Angkatan Perang Kerajaan Belanda di Hindia Belanda, yang juga merangkap sebagai Letnan Gubernur Jenderal.
Sebelumnya Panglima Angkatan Perang tinggal di gedung yang sekarang berdiri Gereja Katedral. Melalui surat keputusan tanggal 5 Desember 1828, rumah kediaman Panglima dijual kepada Yayasan Gereja Katolik dengan harga 20.000 gulden. Yayasan Gereja kemudian membongkar rumah tersebut dan mendirikan gereja. Karena sebab-sebab yang tidak diketahui, gereja tersebut roboh pada tanggal 9 April 1880. Akhirnya dibangunlah Gereja Katedral di tempat tersebut yang diresmikan satu dekade kemudian pada tahun 1901.
Karena rumah kediaman panglima tersebut dijual, maka perlu dibangun sebuah rumah baru. Gedung ini selanjutnya dibangun di atas sebuah taman yang indah yang kemudian dikenal dengan Taman Hertog. Nama ini berasal dari Hertog van Saksen Weimar yang menjabat sebagai Panglima dari tahun 1848-1851. Nama tersebut kemudian berganti menjadi Taman Pejambon. Di sekitar Pejambon dahulu juga terdapat sebuah kompleks militer.
Panglima berdiam di Taman Hertog sampai tahun 1916. Pada tahun 1914-1917, Departemen Urusan Peperangan Hindia Belanda dipindahkan ke Bandung yang diikuti juga dengan kepindahan Panglima ke kota tersebut.
GEDUNG VOLKSRAAD
Gedung bekas kediaman Panglima yang oleh Belanda mungkin dipandang cukup memadai untuk tempat persidangan Dewan Perwakilan Rakyat (Volksraad) kemudian diresmikan sebagai Gedung Volksraad pada Mei 1918 oleh Gubernur Jenderal Limburg Stirum.
Dalam katalog Pameran Peringatan Hari Ulang Tahun ke-300 Kota Batavia yang diselenggarakan di musium di Amsterdam pada bulan Juni dan Juli 1919, terdapat catatan bahwa Volksraad pernah digunakan juga sebagai tempat pertemuan para anggota Dewan Pemerintahan Hindia Belanda (Raad van Indie). Kemudian pemerintah membangun gedung tersendiri untuk Raad van Indie yaitu gedung yang ada di sebelah barat gedung Volksraad di Pejambon No. 2.
Volksraad adalah sebuah dewan yang wewenangnya sangat terbatas. Semula Dewan hanya diberi hak untuk memberi nasehat kepada pemerintah, tetapi pada tahun 1927 dewan rakyat tersebut diberi wewenang untuk membuat Undang-Undang bersama-sama dengan Gubernur Jenderal. Tetapi wewenang itu tidak banyak berarti penting karena Gubernur Jenderal memegang hak veto.
Dalam suatu masa jabatan, jumlah keseluruhan anggota Volksraad pernah mencapai 60 orang terdiri atas 30 wakil rakyat Indonesia (19 dipilih tidak langsung dan 11 ditunjuk langsung), 25 orang bangsa Belanda (15 dipilih tidak langsung dan 10 diangkat), 4 wakil dari golongan keturunan China (3 orang dipilih tidak langsung dan 1 diangkat), dan seorang wakil golongan keturunan Arab yang diangkat. Setiap tahun diadakan dua kali sidang. Sidang pertama dimulai setiap tanggal 15 Mei dan sidang kedua pada hari Selasa ketiga Oktober bulan. Lamanya kedua sidang itu berlangsung selama empat setengah bulan.
Selama empat belas tahun (1927-1941), Volksraad hanya mampu mengajukan 6 rancangan undang-undang, 3 diantaranya diterima pemerintah. Hasil-hasil itupun dicapai setelah tiga orang anggota Volksraad tersebut yaitu Salim, Stokvis, Soetadi, dan Djajadiningrat menyampaikan kritiknya pada tahun 1923 yang mengatakan bahwa “kalau kita ikuti sejarah perkembangan Volksraad sejak tahun 1918, kita hanya bisa berkata dengan rasa penyesalan bahwa hasil-hasil yang dicapainya tidak ada sama sekali”.
BADAN PENYELIDIK USAHA-USAHA PERSIAPAN KEMERDEKAAN
Pemerintah Belanda memaklumkan perang terhadap Jepang sesudah Jepang menyerang Pearl Harbour pada tanggal 8 Desember 1941. Dalam usaha menghadapi serangan Tentara Jepang ke-16 dibawah pimpinan Letnan Jenderal Imamura, pertahanan Belanda dalam waktu singkat terdesak dan akhirnya Panglima Angkatan Bersenjata Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten atas Tentara Sekutu di Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942.
Pada tahun 1943, Pemerintah Militer Jepang di Indonesia membentuk badan Tyuuoo Sangi-In yaitu Badan Pertimbangan Pusat di Jakarta. Badan tersebut bertugas mengajukan usulan kepada pemerintah dan menjawab pertanyaan pemerintah tentang soal-soal politik dan memberikan pertimbangan tentang tindakan apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah Militer Jepang. Jumlah total anggota Tyuuoo Sangi-In 43 orang, terdiri dari 23 orang yang diangkat oleh Saiko Syikikan (Penguasa Tertinggi Pemerintah Militer Jepang), 18 orang utusan dari setiap syu (karesidenan) dan Batavia Tokubetsu Syi (Kotapraja Istimewa Jakarta), dan 2 orang utusan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta.
Sidang Tyuuoo Sangi-In yang pertama dan sidang-sidang berikutnya berlangsung di bekas Gedung Volksraad, Jalan Pejambon No. 6, Jakarta. Dalam persidangan pertama yang berlangsung pada tanggal 16-20 Oktober 1943 telah dibentuk 4 Komisi yang bertugas untuk menjawab pertanyaan Saiko Syikikan tentang cara bagaimana mencapai kemenangan dalam Perang Pasifik.
Situasi Perang Pasifik tidak selalu menguntungkan pihak Jepang. Sesudah pasukan Tentara Sekutu, terutama tentara Amerika Serikat, dapat mengkonsolidasikan diri, maka setapak demi setapak, pulau demi pulau di Pasifik direbut kembali. Kedudukan Tentara Jepang di Indonesia juga terancam, khususnya dari udara.
Dalam keadaan bertahan tersebut, Perdana Menteri Koiso dalam Taikoku Gikai atau sidang istimewa Parlemen Jepang ke-85 di Tokyo, 7 September 1944 kemudian menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia “di kelak kemudian hari nanti”. Ketika usaha Jepang dalam peperangan sudah mengalami kemunduran dari seluruh garis pertahanannya di Pasifik, maka pada tanggal 1 Maret 1945 Saiko Syikikan mengumumkan pembentukan Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Tujuan politik pembentukan BPUPK tersebut ialah agar rakyat Indonesia tetap memberikan dukungan kepada Jepang, sekalipun kedudukan militer Jepang di front Pasifik sudah goyah. Tugas badan ini ialah untuk mempelajari soal-soal yang berhubungan dengan segi-segi politik, ekonomi, dan tata-pemerintahan yang diperlukan dalam usaha pembentukan Indonesia yang merdeka “di kelak kemudian hari”. Dalam pidato radio tanggal 9 Maret 1945, pihak Gunseikan mengatakan bahwa kemerdekaan itu “ibarat mendirikan gedung. Sebelum mendirikan gedung, terlebih dahulu batu besar itu haruslah dibikin sekuat-kuatnya, tetapi sebelum batu-batu besar itu diujudkan, maka perlu sekali dibikin rancangan yang sempurna.”
Pemikiran klasik kolonial serupa diulangi lagi oleh Gunseikan, yaitu ketika pada tanggal 29 April 1945 mengangkat anggota BPUPK menegaskan bahwa BPUPK berkewajiban “mempelajari dan menyelidiki segala urusan yang penting mengenai hal-hal politik, ekonomi, tata-usaha pemerintahan, kehakiman, pertahanan, lalu lintas, dan sebagainya yang diperlukan dalam usaha pembentukan Negara Indonesia, dan hal-hal itu harus dilaporkan kepada Gunseikan.”
Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 di depan BPUPK, seorang anggota BPUPK yang bernama Soekarno mengkritik tugas BPUPK seperti yang dirumuskan pihak Jepang dengan mengatakan bahwa “kalau benar semua ini harus diselesaikan terlebih dahulu, sampai njlimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita semua tidak akan mengalami Indonesia Merdeka – sampai di lobang kubur!”
Upacara pembukaan BPUPK dilakukan pada 28 Mei 1945 di bekas gedung Volksraad. Acara pembukaan tersebut dihadiri oleh Panglima Wilayah ke-7 Jenderal Itakagi, dan Panglima Tentara ke-16 di Jawa Letnan Jenderal Nagano. Dalam upacara pembukaan tersebut diadakan acara pengibaran bendera Jepang Hinomaru yang dilakukan oleh Mr. A.G. Pringgodigdo dan pengibaran bendera Indonesia Sang Merah Putih yang dilakukan oleh Toyohiko Masuda.
Sidang BPUPK diadakan dari tanggal 29 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945 dan dilanjutkan mulai tanggal 10-17 Juli 1945. Sidang-sidang tersebut diselenggarakan di bekas gedung Volksraad atau pada zaman Jepang dikenal sebagai Gedung Tyuuoo Sangi-In, yaitu Gedung Pancasila sekarang.
SIDANG BPUPK 1 JUNI 1945
Anggota BPUPK terdiri dari 62 orang bangsa Indonesia, termasuk 4 orang dari golongan keturunan China, Arab, dan Belanda ditambah 7 anggota istimewa bangsa Jepang. Badan ini diketuai oleh Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat, dibantu dua Wakil Ketua yaitu seorang Jepang bernama Yoshido Ichibangse dan R.P.Soeroso. Ketua BPUPK mengajukan pertanyaan kepada sidang mengenai “Apa dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk?”
Pertanyaan ini pada hakekatnya memberi peluang dan kesempatan kepada para anggota untuk menghindari kemauan pihak Jepang yang meminta BPUPK untuk lebih dahulu mengadakan persiapan-persiapan secara terperinci, sebelum membicarakan tentang Dasar Negara Indonesia Merdeka.
Pada tanggal 1 Juni 1945, anggota BPUPK Ir. Soekarno mendapat giliran untuk menjawab pertanyaan Ketua tersebut dan kesempatan itu juga digunakan untuk menanggapi uraian pembicara-pembicara sebelumnya. Jawaban Ir. Soekarno berisi lima sila yang diusulkan untuk dijadikan Dasar Negara Indonesia Merdeka. Kelima Sila tersebut adalah: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pidato tersebut telah mendapat sambutan hangat dari segenap anggota BPUPK. Menurut notulen rapat dicatat sebagai tepuk tangan yang “riuh”, “riuh rendah” dan “menggemparkan”. Dalam kata pengantar atas dibukukannya pidato tersebut, yang untuk pertama kali terbit pada tahun 1947, mantan Ketua BPUPK Dr. Radjiman Wedyodiningrat menyebut pidato Ir. Soekarno itu berisi “Lahirnya Pancasila,” dan “telah keluar dari jiwanya secara spontan, meskipun sidang ada dibawah pengawasan keras dari Pemerintah Balatentara Jepang”.
Sebagai seorang yang mengikuti dan mendengar sendiri pidato Ir. Soekarno tanggal 1 Juni 1945, Dr. Radjiman Wedyodiningrat juga menyatakan bahwa “Lahirnya Pancasila” ini adalah buah “rekaman stenografis” dari pidato Bung Karno yang diucapkan dengan tidak tertulis dahulu dalam sidang yang pertama pada tanggal 1 Juni 1945 ketika sidang membicarakan “Dasar Negara kita” sebagai penjelmaan dari angan-angannya. Tentunya kalimat-kalimat sesuatu pidato yang tidak tertulis dahulu kurang sempurna tersusunnya, tetapi yang penting ialah isinya.
Menanggapi pidato 1 Juni 1945, bekas Wakil Ketua BPUPK Yoshido Ichibangse dalam laporannya yang disimpan di salah satu arsip resmi di Amsterdam menulis bahwa “Mayoritas kaum nasionalis menuntut kemerdekaan sekarang, sekalipun persiapannya belum sempurna, kata Ir. Soekarno. Kemerdekaan adalah ibarat jembatan. Di seberang jembatan kita sempurnakan masyarakat kita. Saya mendapat kesan bahwa Ir. Soekarno akan memutuskan hubungan dengan Jepang apabila Jepang tidak segera memberikan kemerdekaan pada Indonesia”.
Dengan kata-kata lain, bekas Ketua BPUPK Dr. Radjiman Wedyodiningrat menyatakan bahwa “memang jiwa yang berhasrat merdekatak mungkin dikekang-kekang”, dan bahwa “selama Fasisme Jepang berkuasa di negeri kita, Ide Demokrasi tersebut tak pernah dilepaskan oleh Bung Karno, selalu dipegangnya teguh-teguh dan senantiasa dicarikannya jalan untuk mewujudkannya.
MENUJU INDONESIA MERDEKA
Sidang pertama BPUPK yang dimulai tanggal 29 Mei 1945 dan berakhir tanggal 1 Juni 1945 memutuskan untuk membentuk Panitia Kecil yang diketuai Ir. Soekarno dengan tugas untuk merumuskan kembali Pancasila berdasarkan pidato yang diucapkan Ir. Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Panitia tersebut juga ditugaskan untuk menyusun rancangan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar bagi Indonesia Merdeka. Dari Panitia Kecil itu dipilih 9 orang yang terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakar, H. Agus Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin untuk melaksanakan tugas merumuskan Pancasila.
Tugas tersebut mereka selesaikan pada tanggal 22 Juni 1945 dan hasilnya oleh Muhammad Yamin diberi nama “Piagam Jakarta”. Adapun urutan dan rumusannya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya, Kerakyatan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dalam sidang kedua yang diadakan dari tanggal 10 Juli 1945 hingga 17 Juli 1945, BPUPK menerima dan mengesahkan Piagam Jakarta dan membentuk tiga panitia, yakni Panitia Hukum Dasar yang diketuai Prof. Mr. DR. Soepomo, Panitia Ekonomi dan Keuangan yang diketuai Drs. Mohammad Hatta, dan Panitia Pembelaan Tanah Air yang diketuai Abikusno Tjokrosujoso. Selama persidangan tersebut, BPUPK menghendaki agar Indonesia dapat merdeka selekasnya.
Pada tanggal 14 Juli 1945, BPUPK mendengar laporan dari Panitia Hukum Dasar. Sesudah keesokan harinya dibacakan, maka pada tanggal 16 Juli 1945, sidang BPUPK menerima rancangan Hukum Dasar tersebut.
Satu hari sesudah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom pertama di Hiroshima, maka pada tanggal 7 Agustus 1945, Jenderal Terauchi menyetujui pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). PPKI mulai bekerja pada tanggal 9 Agustus 1945. Susunan keanggotaan PPKI tersebut terdiri dari Ir. Soekarno sebagai Ketua, Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua, dan anggota-anggota yakni Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, K.H. Hadikusumo, Otto Iskandardinata, P. Sorjohamidjojo, P. Purbojo, S. Kartohadikusumo, Dr. Soepomo, Abdulkadir, Dr. Yap Tjwan Bing, Dr. M. Amir, Dr. Sam Ratulangi, Laturharhary, I Gusti Ketut Pudja, Hamidan, R.P. Soeroso, Wahid Hasjim dan Mochamad Hassan. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Ketua PPKI kemudian menambah 6 orang anggota baru, yaitu Wiranata Kusumah, K.H. Dewantoro, Kasman Singodimedjo, Sajuti Melik, Iwa Kusumasumantri, dan Achmad Subarjo. PPKI tidak pernah dilantik oleh Jepang.
DETIK-DETIK MENJELANG PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
Setelah dipastikan bahwa Jepang sudah menyerah, maka pada tanggal 15 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta, masing-masing selaku Ketua dan Wakil Ketua PPKI mengundang semua anggota badan ini untuk mengadakan rapat pada tanggal 16 Agustus 1945 di Pejambon No. 6. Berlainan dengan BPUPK yang susunan keanggotaannya masih terdapat beberapa orang Jepang, PPKI sepenuhnya terdiri dari Bangsa Indonesia.
Pada malam tanggal 15 Agustus 1945, kelompok pemuda mendesak Bung Karno untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia secepat mungkin. Karena tidak tercapai kesepakatan terhadap permintaan para pemuda tersebut, maka pada pagi buta tanggal 16 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta ‘diamankan’ oleh para pemuda ke Rengasdengklok.
Pagi hari tanggal 16 Agustus 1945, para anggota PPKI berangkat dari penginapan mereka di Hotel Des Indes, Jl. Gajahmada menuju gedung Pejambon No. 6 untuk memenuhi undangan Ketua dan Wakil Ketua PPKI. Namun rapat tersebut tidak jadi berlangsung karena Ketua dan Wakil Ketua PPKI masih belum kembali ke Jakarta.
Dalam buku “Bung Hatta Menjawab”, Mohammad Hatta memperkirakan bahwa seandainya rapat tersebut jadi dilaksanakan, Proklamasi Kemerdekaan RI mungkin akan dilakukan pada tanggal 16 Agustus 1945 di Pejambon No. 6. Perkiraan ini didasarkan bahwa pada malam tanggal 15 Agustus 1945, kelompok pemuda telah melakukan desakan yang kuat agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamirkan. Bahkan pada malam itu, Mohammad Hatta sudah mempersiapkan bahan rapat, antara lain mengetik Pembukaan Undang-Undang Dasar yang sampai saat itu direncanakan sebagai naskah proklamasi.
Tetapi sejarah menentukan lain. Proklamasi Kemerdekaan berlangsung pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur No. 56 dimana sehari sebelumnya pada tanggal 16 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta baru saja tiba kembali ke Jakarta dari Rengasdengklok. Terjadilah kesibukan-kesibukan luar biasa di luar pengetahuan Pemerintahan Militer Jepang.
Masalah-masalah penting yang harus diputuskan ialah apakah proklamasi akan dilakukan atas nama PPKI atau tidak dan bagaimana isi proklamasi yang akan berkumandang ke seluruh dunia itu. Sesudah mempertimbangkan keinginan kelompok-kelompok pemuda yang sejak semula bergerak aktif untuk menyongsong datangnya kemerdekaan, maka Bung Karno dan Bung Hatta bertindak atas nama seluruh bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi di Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.
TAHUN-TAHUN AWAL KEMERDEKAAN
Dengan demikian, melalui hasil kerja PPKI, bangsa Indonesia mampu menunjukkan kemampuan mereka untuk mewujudkan takdir dan keinginannya dengan rela berkorban demi kebebasan dan kedaulatan yang telah dicapai. Tak lama kemudian, republik yang baru lahir tersebut akan melancarkan perjuangan bersenjata yang akan membawa kembali negara ke alam penjajahan. Perjuangan tersebut dimulai pada Agustus 1945 dan berakhir pada tanggal 27 Desember 1949 ketika Belanda secara formal akhirnya mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Pada saat itulah mesin dari pada pemerintahan republik baru ini, yang ibukotanya ketika itu sempat berpindah ke Yogyakarta sebagai Ibu Kota Revolusi, mulai dipindahkan kembali ke Jakarta.
Ketika Pemerintah RI hijrah ke Yogyakarta, Belanda menciptakan ‘negara-negara bagian’ yang tergabung dalam wadah Pertemuan Konsultasi Federal atau Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO). Hal ini tentunya jelas bertujuan secara politik menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sidang-sidang BFO dilakukan di Gedung Pancasila. Ketika BFO dibubarkan karena sudah tercapai kesepakatan dalam Persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB), sidang penutupan BFO juga dilangsungkan di Gedung Pancasila dengan dihadiri 15 wakil dari 18 ‘negara bagian’.
Sampai saat ini belum ditemukan catatan dan belum ada pihak yang menyatakan dengan tegas mengenai penamaan resmi Gedung Pancasila. Namun secara obyektif terdapat kenyataan sejarah bahwa di gedung ini para pemimpin bangsa telah mengambil keputusan sejarah yang sangat penting ketika pada bulan Mei, Juni dan Juli 1945 secara sepakat menentukan dasar negara yang akan dijadikan landasan bagi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu PANCASILA.
DEPARTEMEN LUAR NEGERI
Indonesia secara resmi diterima menjadi anggota PBB yang ke-60 pada tanggal 28 September 1950. Bendera Indonesia dikibarkan secara serentak pada hari itu juga di depan gedung Markas Besar PBB di Lake Success, Amerika Serikat dan Gedung Pancasila di Jakarta. Sejak saat itu, baik di PBB maupun forum-forum internasional lainnya, Indonesia selalu berada di garis terdepan dalam gerakan dekolonisasi yang akhirnya mengakhiri segala bentuk penjajahan di dunia. Indonesia bekerja keras di Komite Dekolonisasi PBB untuk mengadopsi diterimanya dua resolusi di Majelis Umum PBB tahun 1960 mengenai pengakuan kemerdekaan bagi negara-negara jajahan dan daerah-daerah yang tidak berpemerintahan. Di PBB dan berbagai forum lainnya, Indonesia tanpa kenal lelah membela dan memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang di dunia.
Pada awal tahun 1950, gedung yang menjadi saksi berbagai peristiwa bersejarah yaitu bekas gedung Volksraad dan Tyuuoo Sangi-In dan yang kita kenal sebagai Gedung Pancasila tersebut diserahkan kepada Departemen Luar Negeri. Nama Gedung Pancasila mulai semakin dikenal ketika pada tanggal 1 Juni 1964 di Departemen Luar Negeri diperingati secara nasional hari lahirnya Pancasila yang dihadiri oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Penunjukan Gedung Pancasila sebagai kantor Departemen Luar Negeri terasa selalu memberi bimbingan kepada Departemen Luar Negeri sebagai aparat pemerintah yang mengemban tugas menjalankan politik luar negeri agar berpegang teguh pada pedoman hidup, falsafah bangsa dan dasar negara Pancasila yakni ikut serta memajukan perdamaian dunia, keadilan sosial dan kemakmuran yang adil dan merata.
Bagi Indonesia, volume kegiatan diplomatik sejak awal 1950 terus meningkat. Dalam rangka menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif, Departemen Luar Negeri menyadari adanya kebutuhan mendesak untuk memiliki kader-kader diplomat yang cakap dan terlatih. Departemen Luar Negeri segera mengadakan pendidikan dan pelatihan yang menekankan praktek kerja di lapangan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek dengan merekrut pejabat diplomatik dan konsuler baik administrasi maupun persandian.
Untuk memenuhi kebutuhan jangka menengah, maka didirikan Akademi Dinas Luar Negeri (Academic Voor de Buitenlandze Dienst) pada tahun 1949 menyusul kemudian didirikan Akademi Dinas Hubungan Ekonomi Luar Negeri dan Akademi Sinologi. Sebelumnya Akademi Ilmu Politik telah berdiri di Yogyakarta pada masa pemerintahan revolusioner.
Ruang depan Gedung Pancasila pernah ditempati oleh Sekretariat Akademi Dinas Luar Negeri. Kuliah-kuliah ilmu ekonomi diberikan sendiri oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta kepada para mahasiswa yang seringkali diadakan di Gedung Pancasila. Dalam dasawarsa 1960-an, Gedung Pancasila dipergunakan pula untuk mendidik calon-calon diplomat Indonesia melalui kursus Atase Pers, kursus Caraka dan Susdubat I yaitu Kursus Dasar Umum Pejabat Dinas Luar Negeri.
Menjelang Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 yang bersejarah itu, Gedung Pancasila menjadi pusat kegiatan Sekretariat Bersama Konferensi yang diketuai oleh Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri dengan anggota-anggotanya terdiri dari para Duta Besar Birma, India, Pakistan, dan Sri Lanka di Jakarta.
Ketika Israel, Inggris dan Perancis melancarkan agresi bersama terhadap Mesir pada 1956, massa rakyat mengadakan demonstrasi ke Departemen Luar Negeri untuk menyatakan dukungan rakyat Indonesia kepada Mesir dan mengutuk agresi yang dilakukan oleh tiga negara tersebut.
Pada tahun 1957, pembangunan gedung tambahan Departemen Luar Negeri selesai sehingga mulai saat itu kantor Menteri Luar Negeri dan Sekretaris Jenderal pindah ke gedung baru. Walaupun pusat Departemen Luar Negeri berpindah ke gedung baru, tetapi Gedung Pancasila masih tetap digunakan sebagai kantor sampai menjelang dipugar. Bahkan gedung ini masih tetap mencatat berbagai peristiwa penting yang bersejarah.
Gedung Pancasila tidak hanya menjadi saksi bisu menjelang runtuhnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru. Selama pergolakan politik di penghujung tahun 1965 dan awal 1966, Gedung Pancasila menjadi sasaran demonstrasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang menentang komunis. Massa pelajar dan mahasiswa yang marah tersebut telah menyebabkan kerusakan di beberapa bagian gedung tambahan dan tidak terkecuali Gedung Pancasila.
Dalam rangka melaksanakan program Kabinet Ampera (25 Juli 1966-17 Oktober 1967), Departemen Luar Negeri menggariskan tahap-tahap pelaksanaan kebijaksanaan luar negeri khususnya pendobrakan keadaan isolasi yang diakibatkan oleh politik luar negeri Orde Lama agar supaya politik luar negeri yang bebas dan aktif yang diabdikan kepada kepentingan nasional dan menuju perdamaian dunia dapat ditegakkan kembali. Isolasi akibat politik luar negeri Orde Lama tersebut tercermin ketika Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia.
Namun tepat lima bulan setelah munculnya Orde Baru melalui Surat Perintah 11 Maret 1966, pada tanggal 11 Agustus 1966 Indonesia dan Malaysia mencapai kesepakatan untuk mengakhiri konfrontasi. Peristiwa bersejarah dalam membina hidup bertetangga kedua negara yang bersahabat tersebut telah direkam pula di Gedung Pancasila. Pada hari itu, para wakil dari Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia masing-masing Menteri Utama Bidang Politik/Menteri Luar Negeri Adam Malik dan Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Tun Abdul Razak membubuhkan tanda tangan mereka pada naskah persetujuan normalisasi hubungan kedua negara.
Dalam rangka memenuhi harapan bangsa Indonesia terhadap pemeliharaan dan perbaikan warisan budaya yang bersejarah, pemugaran terhadap Gedung Pancasila dilakukan oleh Departemen Luar Negeri pada tahun 1973 sampai 1975. Pemugaran untuk bagian dalam gedung telah diusahakan sejauh mungkin mengembalikan coraknya yang asli, tanpa mengadakan perubahan-perubahan struktural. Pengisian perabotan dan permadani disesuaikan dengan kebutuhan untuk masing-masing ruangan.
Sesudah selesai dipugar, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Departemen Luar Negeri ke-30 pada tanggal 19 Agustus 1975, Presiden Republik Indonesia Soeharto membuka selubung prasasti sebagai pertanda peresmian gedung yang terletak di Jalan Pejambon No. 6 Jakarta sebagai GEDUNG PANCASILA. Upacara tersebut disaksikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia kedua Sri Sultan Hamengku Buwono ke-IX; Mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta; para Menteri Kabinet; Kepala-kepala Perwakilan negara sahabat dan undangan lainnya. Pada acara tersebut, Presiden Soeharto mengatakan bahwa, “salah satu cara yang tepat untuk meneruskan pengalaman dan memelihara semangat, tujuan dan cita-cita kemerdekaan itu adalah memelihara dan mewariskan benda-benda, tulisan-tulisan dan tempat-tempat bersejarah kepada generasi yang akan datang, malahan juga alam pikirannya.”
GEDUNG PANCASILA SAAT INI
Gedung Pancasila saat ini dimanfaatkan untuk mengadakan kegiatan-kegiatan internasional seperti resepsi untuk menghormati kunjungan petinggi-petinggi asing ke Indonesia, penandatanganan perjanjian dengan negara lain dan organisasi internasional, pertemuan bilateral dan resepsi diplomatik dalam rangka menyambut kunjungan para menteri luar negeri negara sahabat serta jamuan makan resmi dan tidak resmi.
Menteri Luar Negeri menjaga tempat bekerja beliau yang berada di Gedung Pancasila dan menyambut rekan-rekan beliau di gedung bersejarah ini. Menteri juga memimpin upacara sumpah jabatan bagi para pejabat senior, konsul jenderal maupun upacara untuk mengakhiri masa jabatan dinas luar negeri di gedung tersebut.
Mulai dari Januari 2002, Gedung Pancasila juga menjadi tuan rumah untuk acara jamuan makan pagi Foreign Policy Breakfast, dimana Menteri Luar Negeri mengundang para pemimpin dan tokoh dari kelompok-kelompok masyarakat untuk mendiskusikan kebijakan luar negeri dan masalah-masalah hubungan internasional. Foreign Policy Breakfast merefleksikan satu transformasi yang terjadi karena era reformasi dimana suara rakyat adalah hal yang sama pentingnya dengan parlemen dan partai politik, organisasi non-pemerintah dan masyarakat sipil, media masa, akademisi dan para pakar, memilki kepentingan yang lebih besar dalam formulasi dan pengadaan kebijakan luar negeri Indonesia. Tentu saja, peranan para tokoh atau lembaga tersebut merupakan unsur pokok kebijakan luar negeri dan pelaku-pelaku penting dalam hubungan internasional sebagai konsekuensi perwujudan masyarakat yang demokratis dan terbuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar